Pemberontakan Ionia
Pemberontakan Ionia | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Perang Yunani-Persia | |||||||||
Letak Ionia di Asia Kecil | |||||||||
| |||||||||
Pihak terlibat | |||||||||
Ionia, Aiolis, Doris, Karia Athena, Eretria, Siprus | Persia | ||||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||||
Aristagoras, Kharopinos, Hermophantos, Eualkides †, Melanthius Dionysios dari Phokaia Histiaios |
Megabates, Artaphernes, Daurises †, Hyamees, Otanes, Datis |
Pemberontakan Ionia dan pemberontakan terkait di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia, adalah pemberontakan militer oleh beberapa daerah di Asia Kecil terhadap kekuasaan Persia, dan berlangsung dari tahun 499 SM sampai 493 SM. Penyebab pemberontakan ialah ketidakpuasan kota-kota Yunani di Asia Kecil terhadap para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka, juga kemarahan terhadap tindakan individual oleh dua tiran Miletos, yaitu Histiaios dan Aristagoras. Kota-kota Ionia sendiri ditaklukkan oleh Persia sekitar tahun 540 SM, dan sejak itu diperintah oleh tiran, yang diusulkan oleh satrap Persia di Sardis. Pada tahun 499 SM, tiran Miletos, Aristagoras, melancarkan ekspedisi gabungan bersama satrap Persia, Artaphernes, untuk menaklukkan Naxos, dengan tujuan menaikkan posisinya. Misi tersebut gagal, dan merasa bahwa dia akan dipecat, Aristagoras memilih untuk menghasut seluruh Ionia untuk memberontak menentang kaisar Persia, Darius yang Agung.
Pada tahun 498 SM, dibantu oleh pasukan dari Athena dan Eretria, pasukan Ionia bergerak, menangkap, dan membakar kota Sardis. Namun dalam perjalanan pulangnya, mereka diikuti oleh pasukan Persia, dan secara telak dikalahkan pada Pertempuran Ephesos. Kampanye ini adalah satu-satunya tindakan ofensif dari pihak Ionia, yang untuk selanjutnya malah menjadi tindakan defensif. Persia menanggapi pada tahun 497 SM dengan serangan bercabang tiga yang diarahkan untuk menangkap daerah di sekitar wilayah para pemberontak, tetapi menyebarnya pemberontakan ke Karia membuat pasukan terbesar Persia, dipimpin oleh Darius, harus dipindahkan ke sana. Walaupun pada walnya meraih keberhaslan di Karia, pasukan Persia dikalahkan dalam suatu penyergapan pada Pertempuan Pedasos. Ini berakibat pada kebuntuan untuk sisa tahun 496 dan 489 SM.
Pada tahun 494 SM, angkatan darat dan angkatan laut Persia berkumpul kembali, dan mereka menuju tepat ke pusat pemberontakan di Miletos. Angatan laut Ionia berusaha mempertahankan Miletos di laut, tetapi secara telak dikalahkan pada Pertempuran Lade, setelah bangsa Samos berkhianat dan balik mendukung Persia. Miletos dikepung dan dikuasai oleh Persia. Peristiwa di Miletos membuat pemberontakan berhenti, dan orang-orang Karia pun menyerah kepada Persia. Persia menghabiskan tahun 493 SM untuk menumpas sisa-sisa pemberontakan di kota-kota lainnya, sebelum akhirnya menetapkan kesepakatan damai di Ionia.
Pemberontakan Ionia merupakan konflik besar pertama antara Yunani melawan Kekaisaran Persia, dan menjadi fase pertama dalam Perang Yunani-Persia. Meskipun Asia Kecil berhasil dikuasai kembali oleh Persia, tetapi Darius bersumpah untuk menghukum Athena dan Eretria atas tindakan mereka yang membantu para pemberontak. Selain itu, Darius juga melihat bahwa kota-kota di Yunani dapat mengancam kestabilan Kekaisarannya. Maka dari itu, Darius pun berniat melakukan invasi ke Yunani.
Sumber
[sunting | sunting sumber]Secara praktis, satu-satunya sumber primer untuk Pemberontakan Ionia adalah sejarawan Yunani Herodotos.[1] Herodotos, yang disebut sebagai 'Bapak Sejarah',[2] lahir pada tahun 484 SM di Halikarnassos, Asia Kecil (ketika itu dikuasai oleh Persia). Dia menulis karyanya yang berjudul Historia sekitar tahun 440–430 SM, berusaha untuk melacak asal usul Perang Yunani-Persia, yang ketika itu merupakan peristiwa yang belum terlalu lama berlalu (perang itu berakhir pada tahun 450 SM).[3][4] Pendekatan Herodotos sepenuhnya baru, dan setidaknya di masyarakat Barat, dia tampaknya menciptakan 'sejarah' seperti yang kini diketahui.[4] Seperti dinyatakan oleh Holland:[4]
Untuk pertama kalinya, seorang penulis kronik memutuskan untuk melacak asal usul suatu konflik bukan ke masa silam yang begitu jauh demi terlihat menjadi sangat menakjubkan, bukan juga kepada tingkah laku dan keinginan dewa tertentu, bukan kepada klaim orang demi mewujudkan takdir, namun lebih kepada penjelesan yang dapat dia verifikasi secara pribadi.
Banyak sejarawan kuno di kemudian hari yang, meskipun mengikuti jejak penulisan Herodotos, mengkritiknya, bermula dari Thukydides.[5][6] Meskipun demikian, Thukydides memilih untuk memulai catatan sejarahnya pada peristiwa ketika Herodotos menyelesaikan catatannya sendiri, yaitu pada Pengepungan Sestos, dan dengan demikian Thukydides mungkin merasa bahwa tulisan Herodotos sudah cukup akurat sehingga tak perlu dikoreksi atau ditulis ulang.[3][6] Plutarkhos mengkritik Herodotos dalam esainya "Mengenai Kejahatan Herodotos", menggambarkan Herodotos sebagai "Philobarbaros" (pencinta orang barbar), karena menurutnya Herodotos kurang memihak Yunani. Ini menunjukkan bahwa Herodotos kemungkinan telah melakukan penulisan sejarah yang cukup netral dan tidak terlalu berat sebelah.[7]
Pandangan negatif tentang Herodotos berlanjut hingga Eropa Renaisans, meskipun karyanya tetap banyak dibaca.[8] Akan tetapi, sejak abad ke-19 reputasinya secara dramatis mengalami perbaikan akibat masa demokrasi dan temuan-temuan arkeologis yang berulang kali menunjukkan bahwa catatan sejarahnya memang akurat.[9] Pandangan modern yang kini berlaku adalah bahwa Herodotos secara umum melakukan pekerjaan yang baik dalam karyanya Historia, tetapi beberapa rincian spesifiknya (terutama mengenai jumlah pasukan dan tanggal kejadian) harus dicermati dengan skeptisisme.[9] Meskipun demikian, masih ada beberapa sejarawan yang menganggap bahwa Herodotos memiliki kecenderungan anti-Persia dan bahwa banyak bagian dari kisahnya yang dibuat-buat demi tujuan dramatis[10]
Latar belakang
[sunting | sunting sumber]Pada Zaman Kegelapan Yunani yang berlangsung setelah runtuhnya peradaban Mykenai,[11] banyak orang Yunani yang beremigrasi ke Asia Kecil dan bermukim di sana. Para pemukim ini berasal dari tiga kelompok suku: suku Aiolia, Doria, dan Ionia.[12][13] Orang Ionia bermukim di pesisir Lydia dan Karia, mendirikan dua belas kota yang membentuk daerah Ionia.[13] Kota-kota ini antara lain Miletos, Myos dan Priene di Karia; Ephesos, Kolophon, Lebedos, Teos, Klazomenai, Phokaia dan Erythrai di Lydia; serta pulau Samos dan Khios.[14][15][16]
Meskipun kota-kota Ionia masing-masing berdaulat sendiri-sendiri, tetapi mereka mengakui bahwa mereka mewarisi kebudayaan dan peradaban yang sama. Mereka juga memiliki satu kuil utama dan tempat pertemuan tetap, disebut Panionion. Mereka dengan demikian telah membentuk 'perkumpulan kebudayaan', yang tidak boleh dimasuki oleh kota-kota lainnya, bahkan oleh suku Ionia lainnya.[17][18].Kota-kota Ionia merdeka sampai mereka ditaklukkan oleh raja Kroisos dari Lydia yang terkenal sekitar tahun 560 SM.[19][20][21] Kota-kota Ionia kemudian berada di bawah kekuasaan Lydia hingga pada akhirnya Lydia ditaklukkan oleh Kekaisaran Persia yang dipimpin Koresh Agung.[22][23][24]
Ketika sedang berperang melawan Lydia, Koresh mengirim pesan kepada kota-kota Yunani di Ionia. Dia meminta mereka untuk memberontak terhadap kekuaaan Lydia. Permintaannya ditolak oleh orang-orang Ionia.[22] Setelah Koresh selesai menaklukkan Lydia, kota-kota Ionia kini menawarkan diri untuk berada di bawah kekuasaan Persia dengan kesepakatan yang sama seperti ketika dikuasai oleh Kroisos dari Lydia..[22] Koresh menolak dan mengungkit-ungkit keengganan bangsa Ionia ketika dulu mereka tidak mau membantunya. Bangsa Ionia dengan demikian bersiap-siap untuk mempertahankan diri, dan Koresh mengirim jenderal Media, Harpagos, untuk menaklukkan mereka.[25] Dia pertama-tama menyerang Phokaia; orang-orang Phokaia memutuskan untuk meninggalkan kota mereka dan berlayar menyelamatkan diri ke Sisilia, daripada harus tunduk di bawah kekuasaan Persia (meskipun kemudian banyak pula yang kembali).[26] Beberapa orang Teos juga memilih untuk bermigrasi ketika Harpagos menyerang kota mereka, tetapi bangsa Ionia di kota-kota lainnya tetap bertahan, dan satu demi satu kota-kota Ionia ditaklukkan oleh Persia.[27]
Persia mendapati bahwa orang Ionia sulit diatur. Di wilayah lainnya di kekaisaran, Koresh memanfaatkan kelompok elit penduduk pribumi untuk membantunya mengatur daerah taklukan barunya, misalnya kelompok kependetaan Yudea.[28] Kelompok seperti itu tidak ada di kota-kota Yunani pada masa itu; meski biasanya ada aristokrasi, hal ini pada akhirnya berujung pada golongan-golongan yang saling bermusuhan.[28] Persia kemudian menempatkan seorang tiran di tiap kota di Ionia, meskipun ini menyeret mereka ke dalam konflik internal Ionia. Selain itu, tiran tertentu kemungkinan mengembangkan gagasan untuk merdeka dan harus diganti.[28] Para tiran itu sendiri menghadapi tugas yang sulit, mereka mesti mengalihkan kebencian terburuk warganya terhadap Persia, sambil tetap mengabdi kepada Persia.[28]
Sekitar 40 tahun setelah penaklukan Persia atas Ionia, dan pada masa pemerintahan raja Persia keempat, Darius Agung, tiran Miletos saat itu, Aristagoras, mendapati dirinya berada dalam permasalahan seperti di atas.[29] Paman Aristagoras, Histiaios, pernah menemani Darius dalam kampanyenya pada tahun 415 SM, dan ketika ditawarkan imbalan, meminta bagian wilayah Thrakia yang telah ditaklukkan Persia. Meskipun permintaan itu dikabulkan, ambisi Histiaios membuat para penasehat Darius cemas, akibatnya Histaios kembali diberi "hadiah" lain, yaitu dijadikan "Kawan Semeja Raja" (kemungkinan sebagai penasehat) Darius, yang membuat Histaios harus terus berada di Susa, sehingga Persia tak perlu cemas lagi akan ambisinya. Jabatan tiran kemudian diwariskan kepada Aristagoras, yang harus menghadapi rasa ketidaksukaan rakyat Miletos kepada Persia.[29][30]
Pada tahun 500 SM, Aristagoras didekati oleh beberapa aristokrat yang terusir dari Naxos. Mereka meminta Aristagoras untuk membantu mereka kembali berkuasa di Naxos.[31] Melihat adanya kesempatan untuk memperkuat posisinya di Miletos dengan cara menaklukkan Naxos, Aristagoras pun mendatangi satrap Lydia, Artaphernes, dengan sebuah tawaran. Jika Artaphernes menyediakan pasukan, Aristagoras akan menaklukkan Naxos atas nama Dairus sehingga wilayah Persia akan bertambah luas, dan Artaphernes juga akan diberikan bagian dari rampasan perang untuk mengganti biaya pembentukan pasukan.[32] Artaphernes setuju dan meminta izin Darius untuk melancarkan ekspedisi. Darius memberi izin dan dibentuklah armada laut yang terdiri atas 200 trireme yang akan dikerahkan untuk menyerang Naxos setahun kemudian.[33]
Kampanye Naxos
[sunting | sunting sumber]Pada musim semi tahun 499 SM, Artaphernes menyiapkan armada Persia, dan menunjuk sepupunya Megabates sebagai komandan.[33] Dia lalu mengirim pasukan itu ke Miletos, di sana mereka mengangkut pasukan Ionia yang dipimpin Aristagoras. Setelah itu bersama-sama mereka berlayar menuju Naxos. Dalam perjalanan, Aristagoras bertengkar dengan Megabetes mengenai seorang kapten kapal Ionia bernama Skylax yang tak menyertakan petugas jaga. Herodotos menuturkan bahwa akibat perselisihan itu, Megabetes mengirim utusan ke Naxos untuk memberitahu rakyat Naxos mengenai kedatangan pasukan Pesia.[34] Sebagian sejarawan modern meragukan bahwa Megabetes membocorkan rencana penyerangan kepada rakyat Naxos.[35] Ada kemungkinan bahwa kisah ini disebarkan oleh Aristagoras setelah ekspedisi, sebagai alasan mengapa dia gagal dalam kampanye itu.[1]
Walau bagaimanapun, yang jelas rakyat Naxos sudah mengetahui bahwa mereka akan diserbu oleh Persia sehingga mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk pengepungan. Mereka mengumpulkan persediaan makanan di dalam kota dan memperkuat tembok kota. Ketika pasukan Persia tiba di Naxos, mereka mendapati bahwa kota sasaran mereka sudah terlindungi dengan baik.[36] Setelah melakukan pengepungan selama empat bulan, persediaan uang yang dibawa oleh pasukan Persia mulai habis, selain itu para tentara Persia juga sudah kehilangan semangat. Akhirnya armada Persia terpaksa pulang kembali ke Asia tanpa membawa kemenangan.[37] Sebelum pergi, mereka membangun sebuah benteng di pulau tersebut bagi para aristokrat Naxos yang terusir.[36]
Awal Pemberontakan
[sunting | sunting sumber]Dengan kegagalan menaklukkan Naxos, Aristagoras mendapati dirinya berada dalam keadaan yang sulit; dia tidak dapat membayar biaya ekspedisi kepada Artaphernes.[38] Selain itu dia semakin menjauh dari keluarga kerajaan Persia. Dia cemas dirinya akan dipecat dari jabatannya oleh Artaphernes. Dalam upaya putus asa untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Aristagoras memilih untuk menghasut rakyatnya, yakni penduduk Miletos, untuk memberontak melawan kekuasaan Persia, yang dengan demikian memulai Pemberontakan Ionia.[1][37][39][40]
Pada musim gugur tahun 499 SM, Aristagoras mengadakan pertemuan dengan para anggota faksinya di Miletos. Dia menyatakan pendapatnya bahwa Miletos mesti memberontak. Semua anggota, kecuali sejarawan Hekataios, setuju.[41] Pada saat yang sama, seorang utusan yang dikirim oleh Histiaios tiba di Miletos, menyuruh Aristagoras untuk memberontak terhadap Darius. Herodotos berpendapat bahwa ini karena Histiaios amat sangat ingin kembali ke Ionia, dan berpikir bahwa dia akan dikirim ke sana jika terjadi pemberontakan.[40] Maka dari itu Aristagoras secara terbuka menumumkan pemberontakannya terhadap Darius. Dia mundur dari jabatannya sebagai tiran dan memproklamirkan Miletos sebagai negara demokrasi.[42] Herodotos meyakini bahwa pelepasan kekuasaan ini hanyalah muslihat Aristagoras. Menurutnya Aristagoras melakukannya supaya rakyat Miletos bersemangat untuk memberontak.[43]
Pasukan yang sebelumnya dikerahkan ke Naxos masih berkumpul di Myos dan meliputi kontingen-kontingen dari kota-kota Yunani lainnya di Asia Kecil, seperti Aiolia dan Doris, selain juga dari Mytilene, Mylasa, Temera dan Kyme.[41] Aristagoras mengirim orang untuk menangkap semua tiran Yunani yang ada dalam pasukan, lalu menyerahkan para tiran itu ke kota mereka masing-masing supaya kota-kota itu mau bekerja sama dengannya.[43] Beberapa tiran itu dihukum mati di kota mereka, tetapi sebagian besarnya diusir.[44] Meskipun tidak dinyatakan secara jelas oleh Herodotos, tetapi diduga bahwa Aristagoras menghasut seluruh pasukan untuk bergabung dalam pemberontakannya,[1] dan juga merebut kapal-kapal yang sebelumnya disediakan oleh Persia untuk mengepung Naxos.[42] Jika ini benar, maka dapat menjelaskan mengapa Persia butuh waktu lama untuk melancarkan serangan laut terhadap Ionia, karena mereka membutuhkan waktu lama untuk membangun armada yang baru.[45]
Meskipun Herodotos menyebutkan bahwa pemberontakan itu terjadi sebagai akibat dari motif pribadi Aristagoras, tetapi jelas bahwa rakyat Ionia sendiri memang sudah ingin memberontak, terutama karena mereka merasa marah kepada para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka.[1] Meskipun negara-negara Yunani pada masa lalu pernah dipimpin oleh tiran, ini adalah bentuk pemerintahan yang tengah mengalami kemunduran. Selain itu, para tiran pada masa lampau cenderung (dan memang harus) kuat dan cakap, sementara orang-orang yang ditunjuk oleh Persia hanya bertindak sebagai perwakilan dari pemerintahan Persia. Didukung oleh kekuatan militer, para tiran ini tidak membutuhkan dukungan dari rakyat, dan dengan demikian dapat berkuasa secara mutlak.[1] Maka dari itu tindakan Aritagoras bisa dibilang menjadi pemicu bagi keinginan orang Ionia itu sendiri. Pemberontakan itu menyebar ke seluruh Ionia, di berbagai kota Yunani di sana, rakyat menggulingkan kekuasaan para tiran dan menggantinya dengan pemerintahan demokrasi.[42]
Aristagoras berhasil menghasut seluruh Asia Kecil Hellenik untuk memberontak, tetapi ia menyadari bahwa Ionia membutuhkan sekutu lain supaya mampu menghadapai Persia.[44][46] Pada musim dingin tahun 499 SM, dia pertama-tama berlayar ke Sparta, negara yang terkenal kuat dalam berperang. Akan tetapi, meskipun telah dibujuk oleh Aristagoras, raja Sparta Kleomenes I menolak tawaran untuk memimpin pasukan Yunani melawan Sparta. Maka dari itu Aristagoras pun mencari bantuan ke negara lainnya, yaitu Athena.[46]
Pada saat itu Athena sendiri baru saja menjalankan demokrasi, menggulingkan tirannya sendiri Hippias. Dalam perjuangan mereka mendirikan demokrasi, orang Athena sempat meminta pertolongan kepada Persia dan menawarkan kekuasan atas Athena. Pada akhirnya bantuan tersebut tak dibutuhkan oleh Athena.[47] Beberapa tahun kemudian, Hippias berupaya untuk berkuasa kembali di Athena, dengan dibantu oleh Sparta. Upaya ini gagal dan Hippias mencari perlindungan kepada Artaphernes. Hippias lalu membujuk Persia untuk menaklukkan Athena.[48] Athena mengirim utusan kepada Artaphernes untuk mencegahnya mengambil tindakan, tetapi Artaphernes hanya menyuruh orang Athena untuk menerima kembali Hippias sebagai tiran.[46] Orang Athena menolak keras hal ini, dan dengan demikian mereka secara terbuka menyatakan perang kepada Persia.[48] Dengan menjadi musuh Persia, Athena menjadi berada dalam posisi untuk mendukung kota-kota Ionia ketika mereka mulai melakukan pemberontakan.[46] Selain itu, kenyataan bahwa demokrasi Ionia diilhami oleh Athena semakin mendorong Athena untuk mendukung Pemberontakan Ionia, apalagi kota-kota Ionia dipercaya bermmula sebagai koloni-koloni Athena.[46]
Aristagoras juga berhasil membujuk kota Eretria untuk ikut mengirim bantuan kepada orang Ionia. Alasan Eretria membantu Pemberontakan Ionia tak sepenuhnya jelas. Kemungkinan faktornya adalah alasan perdagangan; Eretria adalah kota dagang, yang perniagaannya terancam oleh dominasi Persia di Aigeia.[46] Herodotos sendiri berpendapat bahwa Eretria mendukung pemberontakan sebagai balasan karena dulu orang Miletos pernah membantu Eretria dalam perang melawan Khalkis, barangkali pada Perang Lelantina.[49][50]
Serangan Ionia
[sunting | sunting sumber]Pertempuran Sardis
[sunting | sunting sumber]Selama musim dingin, Aristagoras terus menggerakan pemberontakan. Pada suatu insiden, dia menyuruh sekelompok orang Paionia, dulunya datang dari Thrakia, yang dibawa oleh Darius untuk tinggal di Phrygia, untuk kembali ke tempat asal mereka. Herodotos menyataka bahwa satu-satunya tujuan Aristagoras melakukan itu adalah untuk membuat pihak Persia semakin marah.[49]
Pada musim semi tahun 498 SM, satu armada Athena yang terdiri atas dua puluh trireme, dengan ditambah lima trireme dari Eretria, berangkat menuju Ionia.[45] Mereka bergabung dengan pasukan Ionia utama di dekat Ephesos.[51] Aristagoras menolak memimpin pasukan itu secara langsung dan memutuskan untuk menunjuk saudaranya Kharopinos dan orang Miletos lainnya, Hermophantos, sebagai jenderalnya.[50]
Pasukan ini dipandu oleh orang Ephesos melalui pegunungan menuju Sardis, ibu kota kesatrapan Artaphernes.[45] Pasukan Yunani mengejutkan orang Persia di sana dan berhasil menaklukkan kota bawahnya. Namun, Artaphernes masih mengausai citadel yang memiliki banyak tentara Persia.[51] Kota bawah kemudian dilanda kebakaran yang, menurut Herodotos, menyebar dengan cepat. Pasukan Persia di citadel, terkurung dalam kota yang terbakar, bergerak ke pasar Sardis, di sana mereka bertempur dengan pasukan Yunani dan berhasil memukul mundur mereka. Kekalahan itu membuat pasukan Yunani kehilangan semangat. Mereka mundur dari kota itu dan kembali ke Ephesos.[52]
Herodotos menuturkan bahwa ketika Darius mengetahui kabar mengenai kebakaran Sardis, dia sangat marah dan bersumpah akan menghukum para pemberontak itu beserta negara yang membantu mereka, yaitu Athena dan Eretria. Dia bahkan menyuruh seorang pelayan untuk selalu mengingatkannya tiga kali sehari dengan mengatakan: "Baginda, ingatlah Athena."[53]
Pertempuran Ephesos
[sunting | sunting sumber]Herodotos mencatat bahwa ketika pasukan Persia yang berada di Asia Kecil mengetahui penyerangan terhadap Sardis mereka langsung berkumpul dan bergerak untuk menemui Artaphernes.[54] Setibanya di Sardis, mereka mendapati bahwa pasukan Yunani sudah pergi. Jadi mereka mengikuti jejak pasukan Yunani hingga ke Ephesos.[54] Mereka menemukan pasukan Yunani di dekat Ephesos dan menyerang mereka. Pasukan Yunani terpaksa berbalik dan bertempur menghadapi pasukan Persia.[54] Holland berpendapat bahwa dalam bentrokan itu pasukan Persia kemungkinan erdiri terutama atas kavaleri sehingga dapat mengejar pasukan Yunani dengan cepat.[45] Kavaleri Persia pada masa itu biasanya merupakan kavaleri misil, yang siasatnya adalah melemahkan musuh dengan melontarkan serangan jarak jauh secara terus-menerus.[55]
Jelas bahwa pasukan Yunani, yang kelelahan dan kehilangan semangat, bukan tandingan bagi pasukan Persia, dan memang pada akhirnya pasukan Persia berhasil sepenuhnya mengalahkan pasukan Yunani melalui pertempuran di Ephesos.[45] Banyak tentara Yunani yang terbunuh, termusuk jenderal Eretria, Eualkides.[54] Tentara Ionia yang selamat dari pertempuran melarikan diri ke kota masing-masing, sedangkan pasukan Athena dan Eretria berhasil tiba di kapal-lapal mereka dan kemudian berlayar kembali ke Yunani.[45][54][56][57]
Penyebaran pemberontakan
[sunting | sunting sumber]Pasukan Athena mengakhiri persekutuan mereka dengan Ionia, karena mereka menyadari bahwa pasukan Persia tidak selemah seperti yang diceritakan oleh Aristagoras.[58] Akan tetapi, orang Ionia tetap melanjutkan pemberontakan, dan Persia tampaknya tidak menindaklanjuti kemenangan mereka di Ephesos.[58] Kemungkinan pasukan Persia yang baru saja mengalahkan pasukan Yunani di Ephesos itu tidak memiliki perlengkapan yang cukup untuk melakukan pengepungan terhadap suatu kota. Sementara itu, meskipun mengalami kekalahan di Ephesos, pemberontakan malah semakin meluas. Orang Ionia mengirim pasukan ke Hellespontos dan Propontis dan menaklukkan Byzantion serta kota-kota lain di sekitarnya.[58] mereka juga membujuk Karia untuk ikut memberontak.[58] Lebih jauh lagi, melihat bahwa pemberontakan semakin meluas, kerajaan-kerajaan di Siprus juga ikut memberontak terhadap kekuasaan Persia meskipun tanpa ada hasutan dari pihak luar.[59]
Serangan balasan Persia
[sunting | sunting sumber]Uraian herodotos setelah Pertempuran Ephesos ambigu dalam kronologi pastinya; para sejarawan pada umumnya menempatkan peristiwa di Sardis dan Ephesos pada tahun 498 SM.[45][60] Herodotos selanjutnya menjabarkan penyebaran pemberontakan, dengan demikian pada tahun 498 SM juga, tetapi dia mengatakan bahwa bangsa Siprus mengalami satu tahun kemerdekaan, yang dengan demikian menaruh tindakan Siprus pada tahun 497 SM.[61] Dia kemudian menyebutkan:"[61]
Daurises, Hymaies, dan Otanes, kesemuanya adalah jenderal Persia dan menikah dengan anak perempuan Darius, mengejar orang Ionia yang telah berarak ke Sardis, dan mendesak mereka hingga ke kapal-kapal mereka. Setelah kemenangan ini mereka saling membagi-bagi kota-kota dan menjarah kota-kota itu.
Kutipan tersebut menyiratkan bahwa para jenderal Persia ini melancarkan serangan balasan dengan segera seusai Pertempuran Ephesos. Akan tetapi, kota-kota yang oleh Herodotos disebutkan dikepung oleh Daurises berada di Hellespontos,[62] yang, berdasarkan perhitungan Herodotos sendiri, tidak terlibat dalam pemberontakan hingga setelah peristiwa di Ephesos. Maka cara paling mudah untuk merukunkan pertentangan ini adalah dengan berasumsi bahwa Daurises, Hymaies, dan Otanes menunggu hingga musim kampanye berikutnya, yaitu tahun 497 SM, sebelum melancarkan serangan balasan. Tindakan Persia yang disebutkan oleh Herodotos di Hellespontos dan Karia tampaknya berlangsung pada tahun yang sama, dan sebagian besar sejarawan menempatkannya pada tahun 497 SM.[60]
Siprus
[sunting | sunting sumber]Di Siprus, semua kerajaannya memebrontak kecuali kerajaan Amathos. Pemimpin pemberontakan Siprus adalah Onesilos, saudara raja Salamis-di-Siprus, Gorgos. Gorgos sendiri tidak ingin memberontak, jadi Onesilos mengusir saudaranya itu dari kota dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja. Gorgos selanjutnya mendatangi pihak Persia, sementara Onesilos menghasut kerajaan-kerajaan Siprus lainnya, kecuali Amathos, untuk memberontak. Setelah itu dia mengepung Amathos.[59]
Setahun kemudian, yaitu tahun 497 SM, Onesilos, yang masih mengepung Amathos, mendengar bahwa pasukan Persia yang dipimpin Artybios telah dikerahkan ke Siprus. Onesilos pun mengirim utusan ke Ionia, meminta bantuan mereka. Orang Ionia setuju dan mengirimkan "pasukan besar" ke Siprus.[63] Pasukan Persia akhirnya tiba di Siprus, dibantu oleh armada Fenisia. Pasukan Ionia memutuskan untuk bertempur di laut dan berhasil mengalahkan armada Fenisia itu.[64] Dalam pertempuran darat yang terjadi setelanya, pasukan Siprus memperoleh keuntungan awal dan mampu membunuh Artybios. Akan tetapi, dua kontingen mereka membelot dan berpihak kepada Persia. Akibatnya pasukan Siprus dan Ionia dikalahkan, dan Onesilos terbunuh. Pemberontakan di Siprus akhirnya berakhir, sedangkan pasukan Ionia berlayar pulang.[65]
Hellespontos dan Propontis
[sunting | sunting sumber]Pasukan Persia di Asia Kecil tampaknya dikumpulkan kembali pada tahun 497 SM, dengan tiga menantu Darius, yaitu Daurises, Hymaies, dan Otanes, memimpin tiga pasukan.[60] Herodotos berpendapat bahwa ketiga jenderal ini membagi wilayah pemberontakan menjadi tiga dan masing-masing jenderal melancarkan serangan ke tiga wilayah itu.[61]
Daurises, yang tampaknya memiliki pasukan terbesar, awalnya membawa pasukannya ke Hellespontos.[60] Di sana, dia secara sistematis mengepung dan merebut kota Dardanos, Abydos, Perkote, Lampsakos dan Paisos, masing-masing kota direbut dalam waktu satu hari menurut Herodotos.[62] Akan tetapi, ketika dia mengetahui bahwa Karia ikut memberontak, dia segera menggerakkan pasukannya ke selatan untuk menghentikan pemberontakan baru itu.[62] Ini membuat pemberontakan Karia diperkirakan terjadi pada awal tahun 497 SM.[60]
Hymaies pergi ke Propontis dan merebut kota Kios. Setelah Daurises memindahkan pasukan ke Karia, Hymaies berarak menuju Hellespontos dan menaklukkan banyak kota Aiolia serta beberapa kota di Troad. Namun, dia kemudian jatuh sakit dan meninggal, mengakhiri kampanyenya.[66] Sementara itu, Otanes, bersama dengan Artaphernes, melakukan kampanye di Ionia.[67]
Karia
[sunting | sunting sumber]Pertempuran Marsyas
[sunting | sunting sumber]Di Karia, pasukan pemberontak berkumpul di "Tiang Putih", di Sungai Marsyas (Çine modern), anak sungai Maiandros.[68] Pixodoros, seorang kerabat raja Sisilia, berpendapat bahwa pasukan Karia harus menyeberangi sungai dan bertempur dengan sungai di belakangnya, dengan tujuan mencegah para tentara Karia melarikan diri dan supaya mereka dapat bertempur dengan lebih berani. Gagasan ini ditolak dan pasukan Karia menunggu pasukan Persia yang menyeberangi sungai.[68] Pertempuran yang terjadi kemudian, menurut Herodotos, berlangsung lama, dengan pasukan Karia bertempur dengan tangguh namun pada akhirnya harus kalah akibat pasukan Persia yang lebih banyak. Herodotos menyebutkan bahwa 10.000 orang Karia dan 2.000 tentara Persia meninggal dalam pertempuran itu.[69]
Pertempuran Labraunda
[sunting | sunting sumber]Orang-orang Karia yang selamat dari Pertempuran Marsyas melarikan diri ke hutan suci Zeus di Labraunda. Mereka berpikir apakah harus menyerah kepada Persia atau bersama-sama pergi dari Asia Kecil.[69] Kerika sedang membicarakan pilihan-pilihan itu, mereka didatangi oleh pasukan Miletos, dan dengan tambahan tentara ini mereka memutuskan untuk terus bertempur. Pasukan Persia menyerang mereka di Labraunda, dan mengalahkan mereka dengan memberikan kerugian yang bahkan lebih besar, dengan pasukan Miletos khususnya menderita kerugian yang buruk.[70]
Pertempuran Pedasos
[sunting | sunting sumber]Setelah kemenangan ganda atas orang Karia, Daurises mulai menyerbu benteng-benteng Karia. Orang Karia masih terus melakukan perlawanan, dan memutuskan untuk menyergap Dariuses di jalan menuju Pedasos.[71] Herodotos menyiratkan bahwa ini kurang lebih terjadi tidak lama setelah Pertempuran Labraunda, tetapi diduga pula bahwa peristiwa di Pedasos terjadi setahun setelahnya, yaitu pada tahun 496 SM, sehingga memberi cukup waktu bagi orang Karia untuk berkumpul kembali.[60] Pasukan Persia tiba di Pedasos pada malam hari, dan penyergapan pun terjadi, yang berakhir dengan kemenangan besar bagi pasukan Karia. Pasukan Persia menderita kerugian besar akibat penyergapan itu, seluruh pasukan dibantai, sedangkan Daurises, beserta para komandan Persia lainnya, dibunuh.[71] Pembantaian di Pedasos namapknya menciptakan kebuntuan dalam kampanye di Karia, dan hanya ada sedikit kampanye lebih jauh pada tahun 496 SM dan 495 SM.[60]
Ionia
[sunting | sunting sumber]Pasukan Persia ketiga, di bawah komando Otanes dan Artaphernes, menyerang Ionia dan Aiolia.[67] Mereka merebut kembali Klazomenai dan Kyme, barangkali pada tahun 497 SM, tetapi tampaknya menjadi kurang aktif pada tahun 485 SM dan 495 SM, kemungkinan akibat bencana di Karia.[60]
Pada puncak serangan balasan Persia, Aristagoras, yang merasakan bahwa posisinya tidak aman, memutuskan untuk mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin Miletos dan pemimpin pemberontakan. Dia meninggalkan Miletos bersama semua anggota faksinya yang mau menemaninya, dan pergi ke wilayah Thrakia yang diberikan oleh Darius kepada Histiaios setelah kampanye tahun 513 SM.[72] Herodotos, yang jelas memiliki pandangan buruk terhadap Aristagoras, menuturkan bahwa dia kehilangan keberanian dan melarikan diri. Beberapa sejarawan modern berpendapat bahwa dia pergi ke Thrakia untuk memanfaatkan sumber daya alam yang besar di sana, untuk digunakan demi mendukung pemberontakan.[1] Beberapa lainnya berpendapat bahwa dia mendapati dirinya berada di tengah konflik internal di Miletos dan memilih pergi daripada memperuncing keadaan.[60]
Di Thrakia, dia menguasai kota yang didirikan oleh Histiaios, yaitu Myrkinos (tempat yang kelak menjadi Amphipholis), dan memulai kampanye melawan penduduk Thrakia lokal.[72] Namun, dalam satu kampanye, kemungkinan pada tahun 497 SM atau 496 SM, dia dibunuh oleh orang Thrakia.[73] Aristagoras merupakan satu orang yang mungkin dapat memberikan tujuan kepada pemberontakan, dan dengan kematiannya pemberontakan pun menjadi tanpa pemimpin.[45][60]
Tidak lama setelah itu, Histiaios dibebaskan dai tugasnya di Susa oleh Darius dan dikirim ke Ionia. Dia berhasil membujuk Darius untuk mengizinkannya pergi ke Ionia dengan cara berjanji akan membuat orang Ionia mengakhiri pemberontakan mereka. Akan tetapi Herodotos berpendapat bahwa tujuan aslinya adalah supaya dapat pergi dan kekangan di Persia.[74] Ketika dia tiba di Sardis, Artaphernes secara langsung menuduhnya berkomplot dengan Aristagoras dalam menggerakan pemberontakan. Artaphernes berkata, "Akan aku ceritakan kepada engkau, wahai Histiaios, kebenaran dalam urusan ini, Adalah dirimu yang merancang segalanya, dan Aristagoras yang melaksanakannya."[75] Histiaios pergi malam itu juga ke Khios dan pada akhirnya berangkat menuju Miletos.[76] Namun, Miletos baru saja bebas dari tiran sehingga tak mau menerima Histiaios lagi sebagai penguasa. Maka dari itu Histiaios pun pergi ke Mytilene di Lesbos dan membujuk rakyat Lesbos untuk memberinya delapan trireme. Dia lalu berlayar ke Byzantion bersama semua orang yang bersedia mengikutinya. Di sana dia mendirikan kekuasaannya, mermpas semua kapal yang berusaha berlayar melalui Bosporus, kecuali jika mereka mau mengabdi kepadanya[76]
Akhir pemberontakan
[sunting | sunting sumber]Pertempuran Lade
[sunting | sunting sumber]Pada tahun keenam pemberontakan (494 SM), pasukan Persia dikumpulkan ulang. Semua tentara darat yang tersedia digabungkan ke dalam satu pasukan, dan diiringi oleh armda, yang diambil dari Siprus, yang telah dikuasai kembali, juga dari Mesir, Kilikia, dan Fenisia.[77] Pasukan Persia langsung menuju Miletos, tidak terlalu memedulikan pertahanan pemberontakan di tempat lainnya, kemungkinan berniat untuk menghentikan pemberontakan langsung di pusatnya.[56] Jenderal Persia asal Media, Datis, seorang ahli mengenai urusan Yunani, jelas dikerahkan ke Ionia oleh Darius pada masa ini. Dengan demikian mungkin dia memegang komando penuh atas pasukan Persia dalam serangan ini.[1]
Setelah mengetahui bahwa armada Persia akan segera tiba, orang Ionia berkumpul di Panionion (tempat pertempuran suci), lalu memutuskan untuk tidak berusaha bertempur di daratan, dan menyerahkan pertahanan kota Miletos kepada orang Miletos sendiri. Alih-alih bertempur di daratan, mereka memilih untuk mengumpulkan setiap kapal yang mereka miliki, dan bersiap-siap di pulau Lade di lepas pantai Miletos, untuk kemudian menghadapai pasukan Persia dalam suatu pertempuran laut.[77] Pasukan Ionia dibantu oleh orang-orang Aiolia dari Lesbos. Keseluruhan armada Ionia terdiri atas 353 trireme.[78]
Menurut Herodotos, para komandan Persia khawatir mereka tidak akan mampu mengalahkan armada Ionia, dan jika demikian mereka tidak akan dapat menaklukkan Miletos. Oleh karena itu mereka mengirim para tiran Ionia yang terusir ke Lade, dan masing-masing tiran diperintahkan untuk membujuk rakyat kotanya masing-masing untuk membelot kepada Persia.[79] Pendekatan ini awalnya tak berhasil,[80] namun beberapa hari sebelum pertempuran, perpecahan muncul di perkemahan Ionia.[81] Perpecahan ini membuat kontingen Samos secara diam-diam menerima tawaran Persia untuk membelot, tetapi mereka tetap bersama pasukan Ionia lainnya untuk sementara waktu.[82]
Setelah pertempuran dimulai, armada Persia maju menyerang armada Ionia, yang juga belayar maju. Akan tetapi, ketika dua pasukan ini sudah saling mendekati, kapal-kapal Samos berlayar pergi dari medan tempur, karena mereka memilih untuk membelot kepada Persia. Pasukan Lesbos, melihat kapal-kapal Samos meninggalkan barisan tempur Ionia, ikut melarikan diri juga. Ini membuat barisan tempur armada Ionia pecah.[83] Hanya armada Khios, beserta sedikit kapal dari beberapa kota lainnya, yang tetap bertahan dan bertempur melawan Persia, sementara sebagian besar kapal Ionia memilih untuk kabur ke kota mereka masing-masing.[84] Herodotos menuturkan bahwa pasukan Khios bertempur dengan gagah berani dan sempat berhasil menembus barisan tempur armada Persia serta merebut banyak kapal Persia. Namun, mereka juga kehilangan banyak kapal, dan pada akhirnya sisa-sisa kapal Khios berlayar pergi, sekaligus mengakhiri Pertempuran Lade dengan kemenangan Persia.[85]
Kejatuhan Miletos
[sunting | sunting sumber]Dengan kekalahan armada Ionia, pemberontakan secara efektif berhasil diakhiri. Miletos dengan segera didatangi dan dikepung dari darat dan laut. Pasukan Persia menyerang tembok pertahanan Miletos dan berusaha meruntuhkannya dengan menggunakan berbagai macam alat serta dengan menggalinya. Pada akhirnya pasukan Persia berhasil menghancurkan tembok itu dan menaklukkan Miletos.[86] Menurut Herodotos, sebagian besar pria dibunuh, sedangkan wanita dan anak-anak dijadikan budak.[57][87] Temuan arkeologis cukup mendukung hal ini, menunjukkan tanda-tanda penghancuran yang luas, dan pengabaian sebagian besar kota sebagai akibat atas Pertempuran Lade.[60] Akan tetapi, beberapa orang Miletos tetap bertahan di (atau dengan cepat kembali ke) Miletos, meskipun kota itu tak pernah kembali berkembang seperti sebelumnya.[1]
Miletos dengan demikian bisa dibilang "ditinggalkan hingga kosong oleh penduduknya."[88] Persia lalu mengambil kota dan daerah pesisirnya, sedangkan sisa wilayah Miletos diberikan oleh Persia kepada orang Karia dari Pedasos. Para tawanan Miletos dibawa ke hadapan Darius di Susa, yang kemudian mengirim mereka untuk bermukim di kota Ampe di dekat lautan yang disebut Laut Erythra (keumngkinan di pesisir Teluk Persia). Kota ini disebutkan dilalui oleh sungai Tigris.[89]
Banyak orang Samos yang terkejut dan tidak senang dengan tindakan para jenderal mereka di Lade, dan akhirnya mereka memutuskan untuk berpindah dari Samos sebelum tiran lama mereka, Aiakes, kembali untuk memerintah mereka, karena rakyat Samos tak mau lagi hidup di bawah kekuasaan Persia. Mereka menerima tawaran dari rakyat Zankle untuk bermukim di pesisir Sisilia, dan membawa serta sejumlah orang Miletos yang berhasil kabur dari pasukan Persia.[88] Kota Samos sendiri diampuni oleh Persia karena pembelotan mereka di Lade.[90]
Kampanye Histiaios
[sunting | sunting sumber]Khios
[sunting | sunting sumber]Ketika Histiaios mengetahui berita mengenai kejatuhan Miletos, dia tampaknya menunjuk dirinya sendiri sebagai pemimpin perlawanan terhadap Persia.[60] Berangkat dari Byzantion dengan pasukan Lesbosnya, dia berlayar menuju Khios. Rakyat Khios tak mau menerimanya, maka dia pun menyerang dan menghancurkan sisa-sisa armada Khios. Dengan armada yang hancur lebur, rakyat Khios terpaksa menerima kepemimpinan Histiaios.[91]
Pertempuran Malene
[sunting | sunting sumber]Histiaios kini mengummpulkan pasukan besar Ionia dan Aiolia lalu berangkat mengepung Thasos. Namun, dia menerima kaabr bahwa armada Persia sedang berlayar dari Miletos untuk menyerang wilayah Ionia lainnya, jadi dengan cepat ia kembali ke Lesbos.[92] agar dapat memberi makan pasukannya, dia melancarkan ekspedisi ke wilayah di Asia Kecil di dekat Atarneus dan Myos. Akan tetapi,pPasukan besar Persia pmpinan Harpagos sedang berada di ddaerah itu dan berhasil menyergap satu ekspedisi tersbut di dekat Malene. Pertempuran yang terjadi kemudian berlangsung ketat, tetapi berakhir dengan keberhasilan serangan kavaleri Persia, yang mengobrak-abrik barisan tempur Yunani.[93] Histiaios sendiri menyerah kepada Persia karena dia merasa bahwa dia akan dapat meminta pengampunan kepada Darius. Akan tetap, dia ternyata dibawa ke hadapan Artaphernes, yang menyadari pengkhianatan Histiaois dan mmutuskan untuk menghukumnya dengan cara menyulanya dan kemudian mengirim kepalanya, yang telah dibalsem, kepada Darius.[94]
Operasi terakhir
[sunting | sunting sumber]Armada dan pasukan Persia menghabiskan musim dingin di Miletos, sebelum kemudian berlayar pada tahun 493 SM untuk benar-benar menumpas sisa-sisa pemberontakan. Mereka menyerang dan menaklukkan pulau Khios, Lesbos, dan Tenedos. Di masing-masing pulau, mereka membuat 'jaring manusia' yang terdiri atas para tentara dan menyisir keseluruhan pulau-pulau itu untuk membasmi setiap pemberontak yang bersembunyi.[95] Mereka lalu bergerak menuju Asia Kecil dan menaklukkan kota-kota yang masih memberontak di Ionia, dan sama seperti sebelumnya, mereka juga mencari tiap pemberontak yang bersembunyi.[95] Meskipun kota-kota Ionia jelas mengalami kerusakan dalam prosesnya, tetapi tampaknya tak ada yang dirusak seburuk Miletos. Herodotos menuturkan bahwa pasukan Persia memilih anak lelaki paling tampan dari tiap kota dan mengebiri mereka, serta memilih anak perempuan paling cantik dan mengirimkan mereka ke harem raja. Pasukan Persia kemudian membakar kuil di kota-kota tersebut.[96] Meskipun ini kemungkinan benar, Herodotos juga kemungkinan melebih-lebihkan tingkat pengrusakannya.[1] Dalam beberapa tahun, kota-kota itu telah kurang lebih kembali normal dan mampu menghasilkan armada yang besar untuk invasi kedua Persia ke Yunani, hanya dalam waktu tiga belas tahun.[1][97]
Pasukan Persia kemudian menaklukkan kembali pemukiman-pemukiman di bagian Asia Propontis, sedangkan armada Persia berlayar ke pesisir Eropa Hellespontos, merebut tiap pemukiman di sana. Dengan seluruh Asia kecil kini berhasil dikuasai kembali oleh Persia, pemberontakan telah benar-benar berakhir.[98]
Akibat
[sunting | sunting sumber]Setelah pemberontakan berhasil dihentikan, Persia kini ingin berdamai. Karena daerah yang memberontak telah dikendalikan kembali, Persia merasa tak perlu lagi merusak ekonomi mereka atau memicu terjadinya pemberontakan lainnya. Oleh karena itu Artaphernes berencana memulai hubungan baik dengan bangsa-bangsa taklukannya itu.[99] Di Sardis, ia mengumpulkan perwakilan dari tiap kota Ionia, dan kemudian memberitahu mereka bahwa, alih-alih berselisih dan berperang tanpa henti dengan mereka, dia ingin menyelesaikan segala permasalahan melalui perundingan, tampaknya dengan sekumpulan hakim.[60] Lebih jauh lagi, dia meninjau ulang tanah tiap kota, menetapkan besaran upeti berdasarkan ukuran tanah masing-masing negara Ionia.[100] Artaphernes juga telah melihat betapa orang Ionia amat tidak menyukai tirani. Maka dia pun mulai mempertimbangkan ulang posisinya di pemerintahan lokal Ionia.[99]
Setahun kemudian, Mardonios, menantu Darius lainnya, pergi ke Ionia dan menghapuskan pemerintahan tirani di sana, menggantikannya dengan demokrasi.[101] Perjanjian damai disepakati oleh Artaphernes yang kelak dikenal adil.[99] Darius secara aktif mendorong para bangsawan Persia untuk ikut serta dalam praktik keagamaan Yunani, terutama yang berkaitan dengan dewa Apollo.[102] Catatan dari periode ini menunjukkan bahwa para bangsawan Yunani dan Persia mulai saling melakukan pernikahan, dan anak-anak bangsawan Persia diberikan nama-nam Yunani alih-alih nama Persia. Kebijakan damai Darius digunakan sebagai sejenis kampanye propaganda melawan Yunani daratan, sehingga pada tahun 491 SM, ketika Darius mengirim utusan ke seluruh Yunani untuk meminta tanah dan air (ketundukan) negara-negara kota Yunani daratan, pada awalnya sebagian besar negara kota tunduk kepada Persia, Athena dan Sparta menjadi pengecualian yang paling nyata.[103]
Bagi Persia, satu-satunya urusan yang belum tuntas pada akhir tahun 493 SM adalah penghukuman terhadap Athena dan Eretria atas bantuan mereka dalam pemberontakan.[99] Pemberontakan Ionia telah amat mengancam kestabilan Kekaisaran Persia, dan negara-negara di Yunani darata dapat terus memberikan ancaman terhadap kestabilan tersebut kecuali diselesaikan. Maka Darius memulai upaya untuk menguasai Yunani, yang rencananaya dimulai dengan penghancuran Athena dan Eretria.[99]
Dengan demikian, invasi pertama Persia ke Yunani secara efektif dimulai setahun kemudian, 492 SM, ketika Mardonios dikerahkan (melalui Ionia) untuk menguasai daerah-daerah yang berdekatan dengan Yunani, dan mendesak Athena dan Eretria jika memungkinkan.[101] Dalam prosesnya, Thrakia diduduki kembali setelah sebelumnya sempat melepaskan diri dari kekuasaan Persia selama pemberontakan, sedangkan Makedonia dipaksa menjadi negara bawahan Persia. Meskipun memperoleh kesuksesan awal, ekspedisi itu terhenti akibat kapal-kapal Persia dihantam badai.[101] Ekspedisi kedua dilancarkan pada tahun 490 SM dengan komandan Datis dan Artaphernes, putra satrap Artaphernes. Ekspedisi amfibi ini berlayar melintasi Laut Aigea, menduduki pulau-pulau di Kyklades, sebelum kemudian tiba di Euboia. Eretria lalu dikepung, ditaklukkan, dan dihancurkan oleh pasukan Persia, yang kemudian bergerak menuju Attika. Berlabuh di pantai Marathon, pasukan Persia dihadang oleh pasukan Athena, dan dikalahkan dalam Pertempuran Marathon yang terkenal.[104][105] Ini sekaligus mengakhiri upaya pertama Persia untuk menguasai Yunani.[105][106]
Signifikansi
[sunting | sunting sumber]Pemberontakan Ionia menjadi penting terutama sebagai peristiwa pembuka, dan kejadian penyebab Perang Yunani-Persia, yang meliputi dua invasi ke Yunani serta pertempuran Marathon, Thermopylae,[107] dan Salamis yang terkenal.[1][108] Bagi kota-kota Ionia sendiri, pemberontakan ini berakhir dengan kegagalan serta kerugian yang besar baik dalam hal ekonomi maupun materi. Akan tetapi, selain kehancuran yang dialami Miletos, kota-kota Ionia pulih relatif cepat dan menjadi makmur di bawah kekuasaan Persia selama empat puluh tahun selanjutnya.[1] Bagi Persia, pemberontakan itu penting karena menarik mereka ke dalam konflik yang meluas dengan negara-negara Yunani yang akan berlangsung selama lima puluh tahun, yang dalam masa tersebut mereka mengalami kerugian yang besar.[109]
Secara militer, tidak mudah untuk menarik banyak kesimpulan dari Pemberontakan Ionia, kecuali bahwa orang Yunani dan Persia kemungkinan menjadi saling mengenali kekuatan militer satu-sama lain. Jelas bahwa Athena, dan Yunani pada umumnya, tampaknya terkesan dengan kekuatan kavaleri Persia, yang membuat pasukan Yunani menampilkan kewaspadaan tinggi jika berhadapan dengan kavaleri Persia.[110][111] Sebaliknya, Persia tampaknya tidak terlalu menyadari atau mencermati potensi hoplites Yunani sebagai infantri berat. Pada Pertempuran Marathon, pada tahn 490 SM, pasukan Persia kurang memerhatikan pasukan Athena yang terutama terdiri atas hoplites, yang berakibat pada kekalahan mereka. Selain itu, meskipun Persia dapat merekrut infantri berat dari sejumlah bangsa taklukan mereka, tetapi mereka memulai invasi kedua ke Yunani tanpa melakukannya, dan lagi-lagi menghadapi permasalahan berat ketika melawan pasukan Yunani.[112] Kemungkinan Persia terlalu meremehkan kemampuan militer phalanx hoplites karena pasukan Persia mampu memperoleh kemenangan mudah atas pasukan Yunani di Ephesos, serta dapat mengalahkan pasukan yang bersenjata serupa dalam Pertempuran Sungai Marsyas dan Pertempuran Labraunda.[113]
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l m Fine, hlm. 269–277.
- ^ Cicero, Mengenai Hukum I, 5
- ^ a b Bauer, hlm. 596
- ^ a b c Holland, hlm. xvi–xvii.
- ^ Thukydides, Sejarah Perang Peloponnesos, 1.22
- ^ a b Finley, hlm. 15.
- ^ Holland, hlm. xxiv.
- ^ David Pipes. "Herodotus: Father of History, Father of Lies". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-01-27. Diakses tanggal 2008-01-18.
- ^ a b Holland, hlm. 377.
- ^ Fehling, hlm. 1–277.
- ^ Toynbee, hlm. 223
- ^ Bauer, hlm. 395-396
- ^ a b Herodotos 1.142–151
- ^ Toynbee, hlm. 229
- ^ Bauer, hlm. 395
- ^ Herodotos 1.142
- ^ Herodotos 1.143
- ^ Herodotos 1.148
- ^ Herodotos 1.26
- ^ Bauer, hlm. 520
- ^ Nadif, hlm. 7
- ^ a b c Herodotos 1.141
- ^ Toynbee, hlm. 256
- ^ Bauer, hlm. 521-522
- ^ Herodotos 1.163
- ^ Herodotos I,164
- ^ Herodotos 1.169
- ^ a b c d Holland, hlm. 147–151.
- ^ a b Holland, hlm. 153–154.
- ^ Alain, Duplouy. "Aristagoras of Miletus". Ensiklopedia Dunia Yunani, Asia Kecil. Diakses tanggal 14-08-2012.
- ^ Herodotos 5.30
- ^ Herodotos 5.31
- ^ a b Herodotus V, 32
- ^ Herodotos 5.33
- ^ Keaveney, hlm. 76
- ^ a b Herodotos 5.34
- ^ a b Bauer, hlm. 595
- ^ "Naxos: The Naxos Revolt of Naxos Greece, Cyclades". Greeka. Diakses tanggal 11-08-2012.
- ^ Nadif, hlm. 8
- ^ a b Herodotus 5.35
- ^ a b Herodotos 5.36
- ^ a b c Holland, hlm. 155–157.
- ^ a b Herodotos 5.37
- ^ a b Herodotos 5.38
- ^ a b c d e f g h Holland, hlm. 160–162.
- ^ a b c d e f Holland, hlm. 157–159.
- ^ Holland, hlm. 142.
- ^ a b Herodotos 5.96
- ^ a b Herodotos 5.98
- ^ a b Herodotus 5.99
- ^ a b Herodotos 5. 100
- ^ Herodotos 5.101
- ^ Herodotos 5.105
- ^ a b c d e Herodotos 5.102
- ^ Lazenby, hlm. 232.
- ^ a b Bauer, hlm. 597
- ^ a b "Battle of Lade - 494 B.C." Ancient Greek Battles. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-26. Diakses tanggal 18-08-2012.
- ^ a b c d Herodotos 5.103
- ^ a b Herodotos 5.104
- ^ a b c d e f g h i j k l m Boardman et al, hlm. 481–490.
- ^ a b c Herodotos 5.116
- ^ a b c Herodotos 5.117
- ^ Herodotos 5.108
- ^ Herodotos 5.109
- ^ Herodotos 5.113
- ^ Herodotos 5.122
- ^ a b Herodotos 5.123
- ^ a b Herodotos 5.118
- ^ a b Herodotos 5.119
- ^ Herodotos 5.120
- ^ a b Herodotos 5.121
- ^ a b Herodotos 5.124–126
- ^ Thukydides 4. 102
- ^ Herodotos 5.106–107
- ^ Herodotos 6.1
- ^ a b Herodotos 5.5
- ^ a b Herodotos 6.6
- ^ Herodotus 5.8
- ^ Herodotos 6.9
- ^ Herodotos 6.10
- ^ Herodotos 6.12
- ^ Herodotos 6.13
- ^ Herodotos 6.14
- ^ Herodotos 6.15
- ^ Herodotos 6.16
- ^ Bauer, hlm. 598
- ^ Herodotos 6.18
- ^ a b Herodotos 6.22
- ^ Herodotos 6.20
- ^ Herodoous 6.25
- ^ Herodotos 6.26
- ^ Herodotos 6.28
- ^ Herodotos 6.29
- ^ Herodotos 6.30
- ^ a b Herodotos 6.31
- ^ Herodotos 6.32
- ^ Herodotos 6.94
- ^ Herodotos 6.33
- ^ a b c d e Holland, hlm. 175–177.
- ^ Herodotos 6.42
- ^ a b c Herodotos 6.43
- ^ Herodotos 6.42–45
- ^ Herodotos 6.49
- ^ Toynbee, hlm. 257
- ^ a b Herodotos 6.94–116
- ^ Bauer, hlm. 599-600
- ^ Bauer, hlm. 601-602
- ^ Bauer,, hlm. 603-604
- ^ Holland, hlm. 362–363.
- ^ Holland, hlm. 191–193
- ^ Lazenby, hlm. 217–219.
- ^ Lazenby, hlm. 23–29.
- ^ Lazenby, hlm. 258.
Referensi
[sunting | sunting sumber]Sumber kuno
[sunting | sunting sumber]- Herodotos, Historia
- Thukydides, Sejarah Perang Peloponnesos
- Diodoros Sikolos, Bibliotheke
- Cicero, Mengenai Hukum
Sumber modern
[sunting | sunting sumber]- Bauer, Susan Wise. (2010). Sejarah Dunia Kuno. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-979-27-9043-6
- Boardman J, Bury JB, Cook SA, Adcock FA, Hammond NGL, Charlesworth MP, Lewis DM, Baynes NH, Ostwald M & Seltman CT (1988). The Cambridge Ancient History, vol. 5. Cambridge University Press. ISBN 0521228042.
- Fehling, D. (1989). Herodotus and His "Sources": Citation, Invention, and Narrative Art (Translated by J.G. Howie). Francis Cairns.
- Fine, JVA (1983). The Ancient Greeks: A Critical History. Harvard University Press. ISBN 0674033140.
- Finley, Moses (1972). "Introduction". Thucydides – History of the Peloponnesian War (translated by Rex Warner). Penguin. ISBN 0140440399.
- Holland, Tom (2006). Persian Fire: The First World Empire and the Battle for the West. Doubleday. ISBN 0385513119.
- Nadif, Faisal A., & H, Astid D. (2011). Sejarah Perang-Perang Besar di Dunia. Yogyakarta: Familia. ISBN 978-602-97660-7-3
- Toynbee, Arnold. (2004). Sejarah Umat Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 979-3477-74-1
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- (Inggris) eHistory.com: The Ionian Revolt
- (Inggris) ENCYCLOPÆDIA IRANICA: Ionian Revolt
- (Inggris) The Persian Wars: The Ionian Revolt Diarsipkan 2012-03-29 di Wayback Machine.