iBet uBet web content aggregator. Adding the entire web to your favor.
iBet uBet web content aggregator. Adding the entire web to your favor.



Link to original content: https://id.wikipedia.org/wiki/Laut
Laut - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Lompat ke isi

Laut

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ombak laut menabrak pemecah gelombang di Teluk Santa Catalina.
Laut berpengaruh bagi pembangunan dan perdagangan manusia seperti di Singapura, kota pelabuhan tersibuk di dunia.

Laut atau segara[1] adalah sebuah perairan asin besar yang dikelilingi secara menyeluruh atau sebagian oleh daratan.[2][3][a] Dalam arti yang lebih luas, "laut" adalah sistem perairan samudra berair asin yang saling terhubung di Bumi yang dianggap sebagai satu samudra global atau sebagai beberapa samudra utama. Laut memengaruhi iklim Bumi dan memiliki peran penting dalam siklus air, siklus karbon, dan siklus nitrogen. Meskipun laut telah dijelajahi dan diarungi sejak zaman prasejarah, kajian ilmiah modern terhadap laut yaitu oseanografi baru dimulai pada masa ekspedisi HMS Challenger dari Britania Raya pada tahun 1870-an.[4] Laut pada umumnya dibagi menjadi lima samudra besar yang meliputi empat samudra yang diakui Organisasi Hidrografi Internasional[5] (Samudra Atlantik, Pasifik, Hindia, dan Arktik) dan Samudra Selatan.[6]

Akibat pergeseran benua, saat ini Belahan Bumi Utara memiliki rasio antara luas daratan dan laut yang lebih seimbang (sekitar 2:3) daripada Belahan Bumi Selatan yang nyaris keseluruhan merupakan samudra (1:4,7).[7] Kadar salinitas di samudra lepas secara umum bernilai sekitar 3,5%, tetapi variasi dapat ditemukan di perairan yang lebih dikelilingi daratan, di dekat muara sungai besar, atau di kedalaman besar. Sekitar 85% dari zat yang terlarut di lautan lepas adalah natrium klorida. Perbedaan salinitas dan suhu di antara wilayah-wilayah laut menimbulkan arus termohalin. Pengaruh ombak, yang dihasilkan oleh angin dan oleh pasang surut laut, menimbulkan arus permukaan. Arah aliran arus diatur oleh daratan di permukaan dan bawah laut serta oleh efek Coriolis akibat rotasi Bumi.

Perubahan ketinggian permukaan laut pada masa lalu meninggalkan landas benua, yaitu wilayah dangkal di laut yang dekat dengan darat. Wilayah yang kaya akan nutrien ini dihuni oleh kehidupan yang menjadi sumber makanan bagi manusia seperti ikan, mamalia, krustasea, moluska, dan rumput laut, baik yang ditangkap dari alam liar maupun yang dikembangkan dalam tambak. Keanekaragaman hayati laut yang paling beragam berada di wilayah terumbu karang tropis. Dahulu, perburuan paus di laut lepas umum dilakukan, tetapi jumlah paus yang kian menurun memicu upaya konservasi dari berbagai negara yang menghasilkan sebuah moratorium terhadap perburuan paus komersial. Kehidupan di laut juga dapat ditemukan di kedalaman yang jauh dari jangkauan sinar matahari. Ekosistem di laut dalam didukung oleh keterdapatan nutrien dari celah-celah hidrotermal. Kehidupan di Bumi kemungkinan bermula dari sana dan mikrob air umumnya dianggap sebagai pemicu peristiwa peningkatan oksigen zaman dahulu di atmosfer Bumi. Baik tumbuhan maupun hewan mula-mula berevolusi di laut.

Laut juga menjadi unsur penting bagi aktivitas perdagangan, transportasi, dan industri manusia serta sebagai sumber tenaga pembangkit listrik. Hal-hal tersebut membuat laut diperhitungkan dalam strategi peperangan. Di sisi lain, laut juga dapat menjadi sumber ancaman bencana seperti tsunami dan siklon tropis. Pengaruh-pengaruh tersebut menjadikan laut sebagai aspek penting dalam kebudayaan manusia. Mulai dari berbagai dewa-dewa laut yang dapat ditemukan di berbagai kebudayaan, puisi epos karya penulis Yunani Kuno yaitu Homeros, atau penguburan manusia di laut hingga perubahan yang ditimbulkan oleh Pertukaran Kolumbus, seni kelautan hiperealis, dan musik yang terinspirasi dari laut seperti "Laut dan Kapal Sinbad" karya Nikolai Rimsky-Korsakov. Laut juga menjadi tempat kegiatan-kegiatan waktu luang manusia seperti berenang, menyelam, selancar, dan berlayar. Akan tetapi, pertumbuhan penduduk, industrialisasi, dan pertanian intensif kini menimbulkan polusi laut. Karbon dioksida di atmosfer yang makin meningkat jumlahnya menurunkan nilai pH laut melalui proses pengasaman samudra. Pemancingan berlebihan juga menjadi masalah bagi laut yang merupakan kepemilikan bersama.

Sistem saling terhubung dari samudra-samudra dunia dan berbagai pembagian mereka.

Dalam artian yang lebih luas, "laut" adalah sistem saling terhubung dari samudra-samudra di Bumi, termasuk Samudra Atlantik, Pasifik, Hindia, Selatan, dan Arktik.[8] Namun, istilah "laut" juga sering kali memiliki cakupan yang lebih sempit, seperti Laut Utara atau Laut Jawa. Berdasarkan definisi ini, tidak ada perbedaan khusus antara laut dan samudra selain ukuran laut yang lebih kecil dan biasanya dibatasi oleh wilayah daratan luas.[9] Laut Sargasso, yang batasnya ditentukan dari empat arah arus Pusaran Atlantik Utara, dikecualikan dari definisi ini.[10]:90 Laut umumnya lebih besar ketimbang danau dan berisi air asin. Meskipun definisi ukuran dan pembatasan oleh wilayah daratan merupakan definisi yang umum dipakai, tidak ada definisi teknis yang resmi untuk istilah laut yang dipakai oleh oseanografer.[b] Dalam hukum internasional, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) menyatakan bahwa semua samudra adalah laut (bahasa Inggris: the sea).[13][c]

Ilmu fisik

[sunting | sunting sumber]
Foto "Kelereng Biru" dalam orientasi aslinya, menampilkan wilayah pertemuan antara Samudra Hindia dan Samudra Atlantik di Tanjung Harapan.

Bumi adalah satu-satunya planet yang diketahui memiliki lautan air cair di permukaannya,[10]:22 meskipun planet lain seperti Mars juga diketahui memiliki tudung es dan planet-planet serupa di luar tata surya dapat memiliki samudra.[15] Masih tidak jelas dari mana air di Bumi berasal, tetapi dilihat dari ruang angkasa, planet Bumi tampak seperti sebuah "kelereng biru" dari berbagai bentukannya—samudra, lapisan es, dan awan.[16] Laut di Bumi memiliki volume sebesar 1.335.000.000 kilometer kubik yang mencakup sekitar 96,5% dari seluruh air di Bumi yang diketahui[17][18][d] dan meliputi lebih dari 70% permukaan Bumi.[10]:7 Sementara itu, 1,74% air di Bumi dapat ditemukan dalam bentuk beku di es laut Samudra Arktik, lapisan es Antarktika dan laut-laut di sekitarnya, serta berbagai gletser dan endapan es di permukaan di seluruh dunia. Air sisanya (sekitar 1,72%) tersedia sebagai air tanah atau di tahapan-tahapan siklus air, yang terdiri dari air tawar di danau, sungai, dan pada air hujan dan uap air di udara dan awan.[17] Sastrawan Inggris, Arthur C. Clarke, menyebut bahwa "Bumi" (bahasa Inggris: earth) lebih pantas disebut sebagai "Samudra".[10]:7

Hidrologi merupakan kajian ilmiah terhadap air dan siklus air di Bumi. Hidrodinamika mengkaji fisika pada air yang bergerak. Ilmu yang mempelajari laut secara khusus adalah oseanografi yang mengkaji kondisi air laut, gelombang, pasang surut, arus, pesisir, dasar laut, dan mengkaji kehidupan laut.[22] Cabang ilmu yang mengkaji gaya yang terjadi di laut beserta gerakannya adalah oseanografi fisik.[23] Biologi laut (oseanografi biologi) mengkaji tumbuhan, hewan dan organisme lain yang hidup di dalam ekosistem laut. Oseanografi kimia yang mengkaji interaksi unsur dan molekul dalam samudra terutama pada peran samudra dalam siklus karbon dan peran karbon dioksida dalam peningkatan keasaman air laut saat ini. Geografi laut dan maritim mengkaji bentuk laut. Geologi laut (oseanografi geologi) mempelajari pergeseran benua, komposisi dan struktur Bumi, serta sedimentasi, vulkanisme, dan seismologi di laut.[24]

Peta yang menggambarkan variasi tingkat keasinan (salinitas) di dunia. Merah = 40‰, ungu = 30‰
Zat terlarut dalam air laut (salinitas 3,5%)[25]
Zat Kadar (‰) % dari total garam
Klorida 19,3 55
Natrium 10,8 30,6
Sulfat 2,7 7,7
Magnesium 1,3 3,7
Kalsium 0,41 1,2
Kalium 0,40 1,1
Bikarbonat 0,10 0,4
Bromida 0,07 0,2
Karbonat 0,01 0,05
Stronsium 0,01 0,04
Borat 0,01 0,01
Fluorida 0,001 <0,01
Zat larut lainnya <0,001 <0,01

Air di laut diduga berasal dari gunung berapi di Bumi, mulai dari 4 miliar tahun yang lalu melalui proses pengeluaran gas dari lelehan batuan.[10]:24–25 Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa sebagian besar air di Bumi dapat berasal dari komet.[26] Ciri khas utama air laut adalah sifatnya yang asin. Walaupun tingkat keasinannya (salinitas) dapat beragam, sekitar 90% air di samudra memiliki 34─35 g zat padat yang terlarut per liter, sehingga menghasilkan tingkat salinitas sebesar 3,4─3,5%.[27] Agar dapat lebih mudah mendeskripsikan perbedaan-perbedaan yang kecil, salinitas umumnya dinyatakan dalam satuan permil (‰) atau perseribu (part per thousand, ppt). Salinitas permukaan air laut di Belahan Bumi Utara pada umumnya mendekati angka 34‰, sementara di Belahan Bumi Selatan mencapai 35‰.[7] Salinitas di Laut Tengah sedikit lebih tinggi daripada laut pada umumnya yaitu senilai 38‰.[28] Sementara itu, di Laut Merah bagian utara, salinitas bahkan dapat mencapai 41‰.[29] Komposisi zat larut di dalam samudra relatif stabil.[25][30] Natrium dan klorida, yang merupakan unsur pembentuk garam biasa, mencakup sekitar 85% dari zat padat yang terlarut dalam air laut. Terdapat pula ion-ion logam seperti magnesium, kalsium, dan ion-ion negatif seperti sulfat, karbonat, dan bromida. Air laut terlalu asin untuk diminum oleh manusia dan ginjal manusia tidak mampu mengeluarkan urin yang seasin air laut.[31]

Walaupun jumlah garam di samudra relatif konstan selama jutaan tahun, beberapa faktor dapat mempengaruhi perubahan salinitas air laut.[32] Faktor yang dapat meningkatkan salinitas adalah evaporasi dan pembentukan es laut (karena saat es terbentuk, garam yang terlarut tidak akan ikut beku sehingga bercampur dengan air laut di sekitar es) dapat meningkatkan salinitas sementara faktor yang dapat menurunkan salinitas adalah presipitasi, pelelehan es, serta air tawar yang masuk dari sungai dan limpasan permukaan (runoff).[32] Sebagai contoh, air di Laut Baltik memiliki tingkat keasinan yang sangat rendah hingga dapat tergolong sebagai air payau karena ada banyak sungai yang mengalir ke laut ini.[33] Sementara itu, air Laut Merah memiliki salinitas yang tinggi akibat tingkat evaporasinya yang juga tinggi.[34]

Rata-rata suhu di permukaan laut pada tahun 2009, dari −2 °C (nila muda) sampai 30 °C (merah muda).

Suhu laut bergantung pada tingkat radiasi matahari yang diterima. Di wilayah tropis, Matahari hampir berada tepat di zenit, sehingga suhu di permukaan laut dapat naik hingga lebih dari 30 °C. Sementara itu, di dekat wilayah kutub, suhu permukaan berada dalam keseimbangan dengan es laut yaitu sekitar -2 °C. Perbedaan suhu tersebut menjadi faktor yang mendorong sirkulasi arus air di samudra. Arus hangat di permukaan mengalami pendinginan seiring pergerakannya menjauhi wilayah tropis. Peristiwa ini membuat air menjadi lebih padat dan bergerak turun ke bawah samudra. Sementara itu, air dingin dari arus laut dalam bergerak ke wilayah khatulistiwa, dengan didorong oleh perubahan suhu dan kepadatan air, sehingga naik kembali ke permukaan. Air di laut dalam memiliki suhu sekitar -2 °C hingga 5 °C di seluruh dunia.[35]

Rata-rata tingkat oksigen di permukaan laut pada tahun 2009, dari 0,15 (nila muda) hingga 0,45 (merah muda) mol O₂ per meter kubik.

Air laut dengan salinitas 35‰ memiliki titik beku sekitar −1,8 °C.[36] Jika suhunya sudah cukup rendah, kristal es akan terbentuk di permukaan. Kristal-kristal ini akan pecah menjadi kepingan-kepingan kecil dan membentuk suspensi yang dikenal dengan sebutan frazil. Jika laut sedang tenang, frazil akan membeku menjadi lembaran-lembaran es tipis yang disebut nilas, yang akan menjadi semakin tebal jika es-es baru terbentuk di bawahnya. Di lautan yang tidak tenang, kristal-kristal frazil dapat saling bergabung menjadi piringan-piringan datar yang disebut "panekuk". Piringan-piringan ini nantinya akan bersatu dan membentuk drift ice. Saat membeku, air garam dan udara dapat terperangkap di antara kristal-kristal es. Sementara itu, nilas dapat memiliki salinitas sebesar 12─15 ‰. Es laut berusia satu tahun dapat memiliki salinitas yang lebih rendah yaitu sekitar 4─6 ‰.[37]

Kadar oksigen di dalam air laut utamanya dipengaruhi oleh organisme fotosintesis yang tinggal di dalamnya seperti alga, fitoplankton, dan tumbuhan seperti rumput laut. Pada siang hari, organisme-organisme ini melakukan fotosintesis dan menghasilkan oksigen yang larut ke dalam air laut. Oksigen terlarut ini lalu dimanfaatkan oleh hewan laut. Pada malam hari, organisme tersebut tidak melakukan fotosintesis dan jumlah oksigen yang terlarut pun mengalami penurunan. Cahaya sangat penting untuk proses fotosintesis. Sudut matahari, kondisi cuaca, dan kekeruhan air menentukan tingkat cahaya yang dapat menembus ke dalam laut. Kebanyakan cahaya dipantulkan di permukaan. Cahaya merah akan terserap di bagian atas. Cahaya kuning dan hijau dapat menjangkau kedalaman yang lebih besar sementara cahaya biru dan nila bisa menembus kedalaman hingga 1.000 m. Di bawah kedalaman 200 m, tidak terdapat cukup cahaya untuk melakukan fotosintesis.[38] Oleh karena itu, teradapt sangat sedikit oksigen terlarut di laut dalam. Kehidupan laut dalam seperti bakteri anaerobik mengurai materi organik yang jatuh dari atas untuk menghasilkan hidrogen sulfida (H₂S).[39] Pemanasan global diperkirakan akan semakin mengurangi oksigen baik di laut dalam atau bahkan di permukaan laut karena kelarutan oksigen akan mengalami penurunan jika suhu laut meningkat.[40]

Arus di permukaan: merah adalah arus hangat, sementara biru adalah arus dingin
Arus termohalin. Garis dan tanda panah menunjukkan arus dan pergerakan arus. Warna merah menunjukkan arus hangat sementara warna biru menunjukkan arus dingin.

Angin yang berhembus di permukaan laut menyebabkan pergesekan antara udara dan laut. Pergesekan ini dapat membentuk ombak dan membuat air laut di permukaan bergerak searah dengan angin. Meskipun arah angin sering kali berbeda-beda, kebanyakan angin berhembus dari satu arah sehingga arus di permukaan dapat terbentuk. Angin barat paling sering ditemukan di wilayah lintang sedang sementara angin timur mendominasi wilayah tropis.[41] Dengan adanya arus, air laut berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan air laut di sekitarnya akan mengisi tempatnya yang sebelumnya itu dan begitupun seterusnya. Rangkaian peristiwa ini kemudian membentuk arus yang bergerak melingkar di samudra berupa pusaran. Terdapat lima pusaran utama di samudra-samudra dunia yaitu dua di Samudra Pasifik, dua di Samudra Atlantik, dan satu di Samudra Hindia.[7] Pusaran lainnya yang lebih kecil dapat ditemukan di laut-laut kecil. Terdapat pula satu pusaran di sekitaran Antarktika. Pusaran-pusaran ini telah bergerak sedemikian rupa selama beberapa milenium, dipengaruhi oleh topografi daratan, arah angin, serta Efek Coriolis. Arus permukaan laut di Belahan Bumi Utara mengalir searah jarum jam sementara arus permukaan laut di Belahan Bumi Selatan mengalir berlawanan dengan arah jarum jam. Arus yang bergerak menjauhi khatulistiwa membawa air laut yang bersuhu hangat sementara arus yang bergerak menuju khatulistiwa cenderung lebih dingin. Arus-arus tersebut berpengaruh terhadap iklim Bumi. Arus dapat mendinginkan wilayah khatulistiwa dan menghangatkan wilayah lintang sedang dan tinggi.[42] Arus laut merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam model iklim global.[43] Model-model samudra memanfaatkan ilmu-ilmu dari bidang dinamika fluida geofisika yang mengkaji arus fluida berskala besar seperti air di samudra.[44]

Arus di permukaan hanya mempengaruhi air laut yang terletak beberapa ratus meter di atas. Sementara itu, di kedalaman, terdapat arus yang dipicu oleh pergerakan air di dasar laut. Terdapat pula arus yang mengalir di seluruh samudra dunia yang disebut arus termohalin yang bergerak lambat dan didorong oleh perbedaan massa jenis air yang akibat perbedaan salinitas dan suhu.[45] Di wilayah lintang tinggi dengan suhu atmosfer yang rendah, air laut menjadi dingin serta semakin asin akibat proses pembentukan es air laut. Karena dua faktor tersebut, massa jenis air laut di sana menjadi semakin tinggi dan air pun turun ke kedalaman. Dari laut dalam di dekat Greenland, air tersebut mengalir ke arah selatan. Ketika aliran air tersebut mencapai wilayah Antarktika, datang pula air dari wilayah dingin lainnya lalu air tersebut akan mengalir ke timur. Aliran air kemudian terbagi menjadi dua ke arah utara, yaitu ke Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Di samudra-samudra tersebut air mulai menghangat, massa jenisnya berkurang, dan naik ke permukaan serta akhirnya berputar kembali ke arah selatan. Sebagian akan mengalir kembali ke Samudra Atlantik. Satu siklus di dalam sirkulasi termohalin memerlukan waktu ribuan tahun.[42]

Selain pusaran samudra, terdapat pula arus permukaan yang bersifat sementara dan hanya muncul dalam kondisi-kondisi tertentu. Ombak yang pecah di pesisir pada sudut tertentu dapat membentuk arus sejajar pantai (longshore current) yang membuat air mengalir sejajar dengan garis pantai. Arus sejajar pantai akan semakin kuat jika ombak yang pecah semakin besar, pantainya semakin panjang, dan sudut ombak yang mendekati semakin serong.[46] Arus tersebut dapat memindahkan pasir atau kerikil dalam jumlah yang besar, yang kemudian dapat menghasilkan spit, mengikis pantai, atau membuat saluran air terisi dengan lanau.[42] Sementara itu, rip current dapat terjadi ketika air dari ombak yang terakumulasi di dekat pesisir bergerak kembali ke arah laut di dasar perairan. Arus ini dapat muncul di celah di gosong pasir atau di dekat struktur buatan manusia seperti groyne. Rip current dapat memiliki kecepatan hingga 0,9 m/detik dan dapat terjadi di pantai mana pun yang bergelombang, sehingga arus ini membahayakan perenang yang dapat terjebak di dalamnya.[47] Selain itu, terdapat pula arus pembalikan massa air (upwelling) yang bersifat sementara dan terjadi ketika angin mendorong air di permukaan menjauhi daratan sehingga air yang ada di bawahnya terbawa ke atas. Air di arus ini dingin dan umumnya kaya akan nutrien yang baik bagi pertumbuhan fitoplankton dan produktivitas laut.[42]

Pasang laut

[sunting | sunting sumber]
Teluk Fundy saat pasang surut
Teluk yang sama saat pasang naik
Pasang naik (biru) di titik terdekat dan terjauh Bumi dari Bulan

Pasang laut adalah naik dan turunnya permukaan air di laut yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi Bulan dan Matahari serta rotasi Bumi. Setiap kali terjadi pasang laut, permukaan laut akan mencapai ketinggian maksimum yang dikenal dengan sebutan "pasang naik", dan lalu kembali ke ketinggian minimum yang disebut "pasang surut". Saat air sedang surut, akan ada semakin banyak wilayah yang berada di atas air, yang juga dikenal dengan istilah mintakat pasang surut. Perbedaan ketinggian antara pasang naik dengan pasang surut disebut tunggang pasang surut.[48][49]

Kebanyakan tempat mengalami dua pasang naik setiap harinya dengan selang waktu sekitar 12 jam 25 menit, atau setengah dari jangka waktu yang diperlukan oleh Bumi untuk melakukan perputaran penuh dan mengembalikan Bulan ke posisi semula relatif terhadap pengamatnya. Massa Bulan tercatat sekitar 27 juta kali lebih kecil ketimbang Matahari, tetapi jaraknya 400 kali lebih dekat dengan Bumi.[50] Gaya pasang surut akan semakin rendah jika jarak semakin jauh, sehingga pengaruh Bulan terhadap pasang laut dua kali lebih besar ketimbang Matahari.[50] Sebuah tonjolan akan terbentuk di samudra, tepatnya di tempat ketika Bumi berada di titik paling dekat dengan Bulan, karena ini juga merupakan tempat yang paling terkena pengaruh gravitasi Bulan. Sementara itu, di sisi yang berlawanan dengan tempat tersebut di Bumi, gaya dari bulan ada pada titik terlemahnya, sehingga tonjolan lain juga ikut terbentuk. Bulan berputar mengelilingi Bumi, sehingga tonjolan samudra ini juga ikut bergerak di sekitaran Bumi. Gaya gravitasi Matahari juga berdampak terhadap laut, tetapi tidak sekuat Bulan. Ketika Matahari, Bulan, dan Bumi saling sejajar, akan dihasilkan "pasang laut purnama". Di sisi lain, jika Matahari berada di sudut 90° dari Bulan saat dilihat dari Bumi (membentuk sudut tegak lurus), pengaruh gravitasi gabungan dari keduanya terhadap pasang laut menjadi lebih rendah, sehingga terjadilah "pasang laut perbani".[48]

Pasang laut menghadapi resistensi dari inersia air dan dapat dipengaruhi oleh daratan. Di tempat-tempat seperti Teluk Meksiko, daratan membatasi pergerakan tonjolan, sehingga hanya satu pasang laut yang terjadi setiap harinya. Sementara itu, di dekat pantai suatu pulau bisa terjadi empat pasang naik dalam sehari. Selat di dekat Halkis, Euboea, bahkan menghadapi arus pasang surut yang kuat yang dapat secara mendadak berganti arah, biasanya empat kali per hari tetapi bisa mencapai dua belas kali per hari saat Bulan dan Matahari membentuk sudut tegak lurus.[51] Apabila terdapat teluk atau muara yang berbentuk seperti corong, tunggang pasang surut dapat membesar. Contohnya adalah Teluk Fundy yang dapat mengalami pasang laut purnama dengan ketinggian 15 m. Walaupun pasang laut terjadi sekala berkala dan dapat diprediksi, ketinggian pasang naik dapat diturunkan oleh angin di lepas pantai dan dinaikkan oleh angin di darat. Tekanan tinggi di pusat sebuah antisiklon mendorong air ke bawah dan terkait dengan pasang surut yang abnormal, sementara kawasan bertekanan rendah dapat mengakibatkan pasang naik yang ekstrem.[48] Pusuan ribut dapat terjadi ketika angin kencang mengakibatkan akumulasi air di kawasan pesisir yang dangkal, dan pusuan ribut jika diiringi dengan sistem bertekanan rendah dapat meningkatkan permukaan laut secara signifikan selama peristiwa pasang naik. Pada tahun 1900, Galveston, Texas, mengalami pusuan ribut setinggi 15 kaki (5 m) selama peristiwa angin ribut yang menewaskan lebih dari 3.500 orang dan menghancurkan 3.636 rumah.[52]

Seorang peselancar sedang mengarungi ombak besar
Saat memasuki perairan dangkal, ombak akan melambat dan amplitudonya juga bertambah

Angin yang berhembus di atas permukaan laut membentuk ombak yang tegak lurus terhadap arah angin. Gaya gesek antara angin sepoi-sepoi dengan air di kolam akan membentuk riak, tetapi angin yang kencang di samudra akan menghasilkan ombak yang lebih besar. Ombak akan mencapai ketinggian maksimal ketika kecepatannya hampir menyamai kecepatan angin. Apabila angin berhembus secara terus menerus di perairan terbuka (seperti angin Roaring Forties di Belahan Selatan), akan terbentuk gelombang besar (swell).[10](hlm.83–84)[53][54] Apabila angin mereda, pembentukan ombak juga berkurang, tetapi ombak yang sudah terbentuk akan terus bergerak ke daratan. Besarnya ombak bergantung pada fetch (jarak perjalanan tempuh gelombang dari awal pembentukannya) serta pada kekuatan dan durasi angin. Jika ombak bertemu dengan ombak lain dari arah yang berbeda, akan terjadi interferensi di antara keduanya, yang membuat ombak di laut menjadi sulit diprediksi.[53] Interferensi konstruktif dapat menghasilkan gelombang raksasa (rogue waves).[55] Sebagai catatan, kebanyakan ombak tingginya tidak melebihi 3 m[55] dan saat terjadi badai tingginya bisa naik dua atau tiga kali lipat.[56] Namun, tinggi gelombang raksasa telah tercatat di atas angka 25 m.[57][58]

Bagian atas ombak disebut "puncak", sementara bagian terbawah yang terletak di antara dua ombak disebut "dasar", dan jarak di antara kedua puncak dijuluki "panjang gelombang". Angin mendorong ombak di permukaan laut, tetapi sebenarnya ini merupakan perpindahan energi dan bukanlah pergerakan air secara horizontal. Saat ombak mendekati air dangkal, perilakunya akan berubah. Definisi "air dangkal" tergantung pada besar ombaknya; jika kedalaman sama dengan setengah panjang gelombang, ombak akan mulai "merasakan" dasar laut. Pergesekan antara dasar laut dengan air akan mengubah kecepatan, arah, dan bentuk ombak. Ombak akan melambat dan panjang gelombang berkurang. Jika ombak mendekat dengan sudut tertentu atau garis pantai yang didekati tidak merata, beberapa bagian akan melambat terlebih dahulu setelah "merasakan" dasar laut, sehingga ombak pun mengalami refraksi dan menyelimuti daerah tanjung. Saat perairan menjadi semakin dangkal, energi di ombak tidak dapat bergerak ke bawah dan malah mengarah ke atas, sehingga meningkatkan tinggi ombak. Bagian puncak ombak pun condong ke arah depan, dan akhirnya ombak pecah di pesisir.[53]

Tsunami adalah jenis ombak tak lazim yang disebabkan oleh peristiwa besar dan mendadak seperti gempa bumi, tubrukan meteorit, letusan gunung berapi, longsor di bawah laut, atau tanah yang longsor ke laut. Terdapat beberapa perbedaan antara tsunami dengan ombak yang dihasilkan oleh angin:[59]

Tsunami Ombak biasa
Penyebab Gempa bumi, longsor, aktivitas gunung berapi, aktivitas cuaca tertentu, tubrukan meteorit Angin yang berhembus di permukaan samudra
Letak energi Dari permukaan hingga dasar samudra Permukaan samudra
Panjang gelombang 100–480 km 90–180 m
Kecepatan Lebih dari 800 km/jam di perairan dalam, 30–50 km/jam di dekat pesisir 10–100 km/jam
Tsunami pada tahun 2004 di Thailand

Apabila penyebabnya adalah gempa bumi, pergeseran patahan dapat mengakibatkan pergeseran dasar laut secara vertikal, dan hal ini akan menaikkan atau menurunkan permukaan laut di kawasan yang terkena dampak kejadian ini untuk sementara waktu. [60] Energi potensial dari air laut yang terdorong ke atas berubah menjadi energi kinetik,[60] sehingga menghasilkan gelombang yang menyebar dengan kecepatan yang proporsional dengan akar kuadrat percepatan gravitasi dikali kedalaman air.[61] Maka dari itu, jika perairan semakin dalam, maka pergerakan tsunami akan semakin cepat.[59] Gelombang tsunami akan kehilangan energi secara bertahap, sehingga semakin jauh gelombang dari tempat pemicu tsunami, maka semakin lemah gelombangnya. Namun, kecepatannya tidak seragam karena sekali lagi perlu diingat bahwa kecepatan gelombang dipengaruhi oleh kedalaman air. Hal ini berdampak terhadap arah muka gelombang (fenomena yang disebut refraksi), yang dapat memperkuat tsunami di beberapa wilayah dan melemahkannya di tempat lainnya, tergantung pada topografi di bawah laut.[62][63]

Saat tsunami mendekati perairan dangkal, kecepatannya akan melambat, panjang gelombangnya memendek, dan amplitudonya naik drastis.[61] Puncak atau dasar gelombang tsunami dapat tiba di wilayah pesisir terlebih dahulu.[60] Apabila yang sampai pertama adalah puncak gelombang tsunami, air akan surut, sehingga dapat menjadi peringatan bagi orang-orang yang tinggal di daratan.[64] Jika yang datang pertama adalah dasar gelombang tsunami, tsunami akan langsung membanjiri daratan yang ada di hadapannya. Kehancuran dapat diakibatkan oleh air yang surut ke laut setelah terjadinya tsunami, dan orang-orang dan puing-puing juga dapat hanyut oleh air. Seringkali beberapa tsunami dipicu oleh satu peristiwa geologi dan tiba dalam rentang waktu antara delapan menit hingga dua jam. Gelombang pertama yang tiba di pesisir mungkin bukanlah yang terbesar maupun yang paling merusak.[60] Terkadang tsunami dapat berubah menjadi gelombang yang disebut tidal bore di daerah teluk yang dangkal atau muara.[59]

Pesisir di Cagar Nasional Paracas, Ica, Peru
Pantai Praia da Marinha di Algarve, Portugal

Zona tempat bertemunya daratan dengan lautan dikenal dengan sebutan pesisir (coast), sementara bagian yang terletak di antara titik pasang laut purnama terendah dan batas tertinggi yang dapat dijangkau ombak dijuluki bibir pantai (shore). Pantai (beach) adalah tempat berkumpulnya pasir atau kerikil di tepi laut.[65] Tanjung adalah bagian daratan yang menjorok ke laut, dan tanjung yang sangat luas disebut semenanjung. Sementara itu, perairan yang menjorok ke daratan (khususnya yang diapit oleh dua tanjung) disebut teluk.[66] Garis pantai dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang meliputi kekuatan ombak yang datang menghampiri di bibir pantai, kemiringan batas tanah, komposisi dan kerasnya bebatuan di pesisir, kemiringan lereng di lepas pantai, dan perubahan ketinggian daratan. Biasanya gelombang akan bergulung ke bibir pantai dengan frekuensi enam hingga delapan kali per menit, dan ini dikenal sebagai gelombang konstruktif karena cenderung memindahkan materi ke atas pantai dan dampak erosinya juga kecil. Namun, gelombang badai juga dapat tiba di bibir pantai dengan frekuensi yang tinggi, dan gelombang semacam ini disebut gelombang destruktif karena akan memindahkan materi ke arah laut. Selama pasang naik, kekuatan gelombang badai yang menerpa kaki tebing akan memiliki dampak yang merusak, karena udara di dalam celah-celah dan retakan-retakan di tebing akan mengalami pemampatan, dan lalu mengalami perluasan selama proses pengeluaran tekanan. Pada saat yang sama, pasir dan bebatuan memiliki dampak erosi saat terhujam ke arah bebatuan. Akibatnya, bagian bawah tebing pun terkikis, dan jika ditambah dengan proses pelapukan yang lazimnya terjadi, kehancuran akan terjadi. Meskipun begitu, seiring berjalannya waktu, paparan pantai (wave-cut platform) akan terbentuk di kaki bukit dan bentang alam tersebut akan melindungi tebing dan mengurangi dampak erosi yang dipicu oleh ombak.[65]

Materi yang terkikis dari tepi daratan pada akhirnya terbawa ke laut. Di situ materi-materi tersebut mengalami atrisi akibat arus yang mengalir sejajar dengan pesisir. Di sisi lain, sedimen yang terbawa oleh sungai ke laut akan mengendap dan membentuk delta-delta di muara. Seluruh materi tersebut terbawa kesana kemari oleh ombak, pasang laut, dan arus.[65] Pengerukan dapat mengeluarkan materi dan memperdalam saluran air, tetapi bisa mengakibatkan hal yang tak diinginkan di tempat lain di garis pantai. Untuk mencegah banjir di daratan, pemerintah dapat membangun pemecah gelombang, dinding laut, atau tanggul. Contohnya, di Inggris, Pembatas Thames melindungi London dari pusuan ribut,[67] sementara jebolnya tanggul-tanggul di sekitaran New Orleans selama Badai Katrina mengakibatkan krisis di Amerika Serikat. Reklamasi daratan juga dapat dilakukan, seperti perluasan dua pulau kecil yang memungkinkan pembangunan Bandar Udara Internasional Hong Kong.[68]

Tiga jenis batas lempeng

Bumi terbagi menjadi inti yang magnetik, bagian mantel yang kebanyakan cair, dan kulit terluar yang keras dan padat (litosfer). Litosfer terdiri dari kerak dan bagian teratas mantel Bumi. Di daratan, kerak dikenal dengan sebutan kerak benua, sementara yang berada di dasar laut disebut kerak samudra. Kerak samudra terdiri dari basal yang relatif padat dan memiliki ketebalan sekitar lima hingga sepuluh kilometer. Litosfer yang relatif tipis mengambang di atas mantel yang lebih panas dan terbagi menjadi sejumlah lempeng tektonik.[69] Di tengah samudra, magma terus menerus terdorong di antara lempeng-lempeng yang saling bersebelahan dan membentuk punggung tengah samudra, dan di sini arus konveksi di dalam mantel cenderung menjauhkan lempeng-lempeng tersebut. Akibat perbedaan masa jenis, salah satu lempeng samudra dapat menunjam ke bawah lempeng lainnya, dan proses ini dikenal dengan sebutan subduksi. Palung di samudra terbentuk di tempat seperti ini, dan prosesnya diiringi oleh tumbukan. Tumbukan ini dapat mengakibatkan gempa bumi, sementara panas juga dihasilkan dan magma terdorong ke atas, sehingga membentuk gunung bawah laut, dan beberapa dapat menghasilkan gugusan kepulauan vulkanik yang terletak di dekat palung. Di dekat beberapa batas antara laut dan daratan, lempeng samudra yang agak lebih padat menunjam ke bawah lempeng kontinental, sehingga terbentuklah lebih banyak palung subduksi. Saat keduanya saling bertumbukan, lempeng kontinental akan mengalami perubahan bentuk dan menghasilkan aktivitas gempa bumi dan pembentukan gunung.[70][71]

Palung terdalam di Bumi adalah Palung Mariana yang terbentang sekitar 2.500 km di dasar laut. Palung tersebut berada di dekat Kepulauan Mariana, sebuah kepulauan vulkanik di Samudra Pasifik Barat. Rata-rata lebar palung ini tercatat sebesar 68 km, sementara titik terdalamnya adalah 10.994 kilometer di bawah permukaan laut.[72] Sebuah palung yang lebih panjang terbentang sekitar 5.900 km di pesisir Peru dan Chili dengan kedalaman yang mencapai 8.065 m. Palung tersebut muncul di tempat terjadinya subduksi Lempeng Nazca (yang merupakan lempeng samudra) ke bawah Lempeng Amerika Selatan (yang merupakan lempeng kontinental), dan terkait dengan aktivitas gunung berapi di Andes.[73]

Permukaan laut

[sunting | sunting sumber]
Variasi permukaan laut di seluruh dunia (1992) dari −1,4 m (nila muda) sampai +1,0 m (merah muda).

Selama sebagian besar sejarah Bumi, permukaan laut memiliki ketinggian yang berada di atas tingginya saat ini.[10]:74 Faktor utama yang memengaruhi perubahan tinggi permukaan laut pada sepanjang sejarahnya adalah perubahan kerak samudra, dengan pola penurunan yang diperkirakan akan tetap berlangsung dalam waktu panjang ke depan.[74] Pada periode Glasial Maksimum Terakhir sekitar 20.000 tahun yang lalu, permukaan laut ada pada ketinggian 120 m lebih rendah daripada ketinggiannya saat ini. Akan tetapi, selama 100 tahun terakhir, tinggi permukaan laut telah naik dengan rata-rata kenaikan sebanyak 1,8 mm per tahun.[75] Sebagian besar dari kenaikan ini dipicu oleh peningkatan suhu laut yang menyebabkan pemuaian air laut di kedalaman 0–500 m dari permukaan. Faktor-faktor lain yang turut menaikkan tinggi permukaan laut (sekitar seperempatnya) berasal dari sumber air di daratan, seperti melelehnya salju dan gletser serta pengambilan air tanah untuk irigasi dan keperluan manusia lainnya.[76] Pola kenaikan permukaan laut yang dipicu oleh pemanasan global diperkirakan akan berlanjut paling tidak hingga akhir abad ke-21.[77]

Siklus air

[sunting | sunting sumber]

Laut merupakan bagian dari siklus air, yaitu ketika air menguap dari samudra, bergerak melalui atmosfer dalam bentuk uap, mengalami kondensasi, lalu turun ke bumi (biasanya dalam bentuk hujan atau salju), dan akhirnya kembali ke laut.[78] Bahkan di Gurun Atacama (sebuah kawasan yang sangat jarang dituruni hujan), awan-awan kabut padat yang dikenal dengan sebutan camanchaca datang dari laut dan menjadi sumber air bagi tumbuhan-tumbuhan di kawasan lomas.[79]

Di wilayah daratan yang luas, terdapat kenampakan-kenampakan geologi yang dapat membentuk wilayah cekungan endoreik. Cekungan-cekungan ini terkadang menghasilkan danau garam permanen karena air yang mengalir masuk menguap sementara mineralnya terakumulasi. Contohnya adalah Laut Kaspia di Asia Tengah serta Great Salt Lake di Amerika Serikat.[80] Air dari cekungan-cekungan tersebut dapat kembali ke laut melalui proses penguapan, aliran air tanah, dan (dalam waktu yang lama) pergeseran benua.

Siklus karbon

[sunting | sunting sumber]

Samudra memiliki kuantitas karbon terbesar yang didaur secara aktif, dan jumlah karbon yang terkandung di dalam samudra juga merupakan yang terbesar kedua setelah litosfer.[81] Lapisan permukaan samudra mengandung banyak sekali karbon organik terlarut, yang sering kali ditukar dengan karbon di atmosfer. Sementara itu, konsentrasi karbon anorganik terlarut di lapisan dalam samudra tercatat sekitar 15 persen lebih tinggi ketimbang konsentrasi di lapisan permukaan,[82] dan karbon di lapisan dalam akan tetap berada di sana dalam waktu yang panjang.[83] Arus termohalin menukar karbon di antara kedua lapisan tersebut.[81]

Karbon dari atmosfer memasuki samudra dan mengalami pelarutan di lapisan permukaan, dan lalu berubah menjadi asam karbonat, karbonat dan bikarbonat:[84]

CO2 (gas) is in equilibrium with CO2 (aq)
CO2 (aq) + H2O is in equilibrium with H2CO3
H2CO3 is in equilibrium with HCO3 + H+
HCO3 is in equilibrium with CO32− + 2 H+

Karbon juga masuk ke laut lewat sungai dalam bentuk karbon organik terlarut, dan lalu diubah oleh organisme yang berfotosintesis menjadi karbon organik. Karbon ini dapat didaur di rantai makanan atau mengalami presipitasi ke lapisan yang lebih dalam dan kaya akan karbon sebagai jaringan lunak mati atau di dalam cangkang-cangkang dan tulang-tulang sebagai kalsium karbonat. Karbon ini beredar di lapisan ini dalam waktu yang panjang sebelum mengendap sebagai sedimen atau kembali ke permukaan melalui arus termohalin.[83]

Peningkatan keasaman

[sunting | sunting sumber]
Perkiraan perubahan pH air laut yang diakibatkan oleh karbon dioksida yang dihasilkan manusia

Air laut bersifat sedikit alkali dan memiliki rata-rata pH sekitar 8,2 selama 300 juta tahun terakhir.[85] Baru-baru ini, aktivitas manusia dengan cepat meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer. Sekitar 30–40% dari tambahan CO2 diserap oleh samudra, sehingga membentuk asam karbonat dan menurunkan pH (sekarang di bawah 8,1[85]) melalui proses yang disebut peningkatan keasaman samudra.[86][87][88] Kadar pH diperkirakan akan turun hingga 7,7 (peningkatan konsentrasi ion hidrogen sebesar 3 kali lipat) pada tahun 2100, yang merupakan perubahan besar dalam kurun waktu satu abad.[89][e]

Salah satu unsur penting dalam pembentukan material kerangka pada hewan-hewan laut adalah kalsium, tetapi kalsium karbonat menjadi semakin mudah larut jika tekanan semakin tinggi, sehingga cangkang dan kerangka akan mengalami pelarutan apabila berada di bawah kedalaman kompensasi karbonat.[91] Kalsium karbonat juga menjadi semakin mudah larut jika kadar pH lebih rendah, sehingga pengasaman samudra kemungkinan akan berdampak besar terhadap organisme-organisme laut yang memiliki cangkang seperti tiram, kerang, bulu babi, dan koral,[92] karena kemampuan mereka untuk membentuk cangkang akan berkurang,[93] dan kedalaman kompensasi karbonat akan semakin mendekati permukaan laut. Organisme planktonik yang juga akan terkena dampak dari pengasaman meliputi moluska-moluska mirip siput yang dikenal sebagai pteropoda, serta alga bersel tunggal yang disebut kokolitofor dan foraminifera. Organisme-organisme ini merupakan bagian penting dari rantai makanan dan penurunan jumlah mereka akan berdampak besar terhadap ekosistem. Di kawasan tropis, koral akan sangat terdampak karena koral akan semakin sulit membentuk kerangka yang terbuat dari kalsium karbonat,[94] dan ini akan berdampak pada hewan-hewan lainnya yang tinggal di terumbu karang.[89]

Dalam riwayat geologi Bumi, belum ada peristiwa yang sebanding dengan perubahan tingkat keasaman di laut seperti yang terjadi saat ini, sehingga tidak diketahui secara pasti bagaimana ekosistem laut akan beradaptasi.[95] Hal ini dapat semakin diperparah oleh efek dari peningkatan suhu dan penurunan kadar oksigen.[96]

Kehidupan laut

[sunting | sunting sumber]
Terumbu karang merupakan salah satu habitat dengan kehidupan yang paling beranekaragam di dunia.

Samudra adalah tempat tinggal beranekaragam kehidupan yang memanfaatkannya sebagai habitat. Sinar matahari hanya menerangi lapisan-lapisan atas laut, sehingga sebagian besar samudra berada dalam kegelapan permanen. Di setiap tingkatan kedalaman dan zona suhu, terdapat habitat-habitat tersendiri untuk spesies-spesies yang unik, sehingga lingkungan laut memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.[97] Terdapat bermacam-macam habitat laut, dari habitat di permukaan laut hingga palung yang paling dalam. Beberapa contohnya adalah terumbu karang, hutan kelp, padang lamun, kolam pasang-surut, dasar laut yang berlumpur, berpasir dan berbatu, serta zona pelagik terbuka. Organisme yang hidup di laut juga bermacam-macam, dari paus dengan panjang yang mencapai 30 meter hingga fitoplankton dan zooplankton mikroskopis, fungi, dan bakteri. Kehidupan laut berperan penting dalam siklus karbon sebagai organisme fotosintetik yang mengubah karbon dioksida terlarut menjadi karbon organik.[98][99](hlm.204–29)

Kehidupan mungkin bermula di laut dan semua filum hewan terwakili di sana. Para ilmuwan saat ini masih memperdebatkan tempat kemunculan kehidupan secara pasti: percobaan Miller-Urey menunjukkan bahwa kehidupan mungkin muncul secara abiogenesis di sebuah "sup" kimia encer di perairan terbuka, tetapi baru-baru ini muncul dugaan bahwa kehidupan pertama kali muncul di mata air panas vulkanik, sedimen tanah liat, atau ventilasi hidrotermal di dasar laut, dan semua tempat ini akan melindungi kehidupan awal dari radiasi ultraviolet yang tidak diserap oleh atmosfer Bumi pada masa itu.[10](hlm.138–40)

Hutan kelp yang menjadi habitat banyak organisme laut

Secara horizontal, habitat laut dapat dibagi menjadi habitat lautan terbuka dan pesisir. Habitat pesisir terbentang dari garis pantai hingga ujung landas benua. Kebanyakan kehidupan laut dapat ditemui di habitat pesisir, meskipun landas benua hanya mencakup 7% dari luas seluruh samudra. Habitat lautan terbuka terletak di samudra dalam di landas benua. Selain pembagian secara horizontal, habitat laut dapat dibagi secara vertikal menjadi habitat pelagik (perairan terbuka), demersal (di atas dasar laut), dan bentik (dasar laut). Pembagian ketiga adalah menurut garis lintang: dari perairan tropis, sedang, sampai kutub.[10](hlm.150f)

Terumbu karang, yang disebut "hutan hujan di laut", menduduki kurang dari 0,1 persen permukaan samudra dunia, tetapi ekosistemnya mencakup 25 persen dari seluruh spesies laut.[100] Terumbu karang yang paling dikenal adalah terumbu karang tropis seperti Great Barrier Reef di Australia.[10](hlm.204–07) Walaupun begitu, karang juga dapat ditemui di perairan dingin, dan terdapat enam spesies koral yang terlibat dalam pembentukan karang di perairan tersebut, yaitu Lophelia pertusa, Madrepora oculata, Goniocorella dumosa, Oculina varicosa, Enallopsammia profunda, dan Solenosmilia variabilis.[101]

Alga dan tumbuhan

[sunting | sunting sumber]
Diatom adalah salah satu jenis fitoplankton yang paling tersebar di laut.

Produsen primer seperti tumbuhan dan plankton tersebar luas di laut dan juga sangat penting bagi ekosistem. Diperkirakan setengah dari oksigen dunia dihasilkan oleh fitoplankton.[102][103] Sekitar 45 persen produksi primer di laut dihasilkan oleh diatom.[104] Alga yang jauh lebih besar, yang umum dikenal dengan sebutan gulma laut, juga penting di tingkatan lokal: Sargassum mengambang di permukaan, sementara kelp membentuk hutan dasar laut.[99](hlm.246–55) Tumbuhan berbunga dalam bentuk lamun tumbuh di "padang rumput" di perairan dangkal berpasir,[105] sementara pohon bakau menghiasi daerah pesisir di kawasan tropis dan subtropis,[106] dan tumbuhan-tumbuhan yang toleran terhadap garam berkembang di rawa asin yang mengalami banjir secara berkala.[107] Semua habitat tersebut dapat menangkap dan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar, dan juga menopang keragaman hayati yang terdiri dari hewan-hewan besar dan kecil.[108]

Sinar hanya dapat menembus permukaan laut di atas 200 m, sehingga tumbuhan hanya dapat tumbuh di bagian ini.[38] Bagian permukaan sering kali kekurangan komponen-komponen nitrogen yang aktif secara biologis. Siklus nitrogen di laut terdiri dari proses transformasi mikrobial yang meliputi pengikatan nitrogen, asimilasi nitrogen, nitrifikasi, anamoks, dan denitrifikasi.[109] Beberapa proses tersebut terjadi di laut dalam, sehingga pertumbuhan tumbuhan lebih besar di daerah yang mengalami pembalikan massa air, dan juga di daerah dekat muara yang mengandung nutrien yang terbawa dari daratan. Maka dari itu, wilayah yang paling produktif, kaya akan plankton, dan juga kaya akan ikan umumnya terletak di daerah pesisir.[10](hlm.160–63)

Hewan dan kehidupan lain

[sunting | sunting sumber]
Ikan lepu ayam di dekat Pulau Banta, Indonesia
Lumba-lumba

Terdapat beranekaragam hewan di laut, tetapi ada banyak spesies laut yang masih belum diketahui keberadaannya dan jumlah spesies yang telah ditemukan terus bertambah setiap tahunnya.[110] Beberapa vertebrata seperti burung laut, anjing laut, dan penyu kembali ke daratan untuk berkembangbiak, tetapi ikan, cetacea, dan ular laut hanya hidup di laut, dan begitu pula berbagai filum invertebrata. Samudra penuh dengan kehidupan dan memiliki banyak mikrohabitat yang beranekaragam.[110] Salah satu contohnya adalah lapisan permukaan yang menjadi tempat tinggal bakteri, fungi, mikroalga, protozoa, telur ikan, dan berbagai larva, meskipun lapisan ini sering kali terombang-ambing oleh ombak.[111]

Zona pelagik dihuni oleh makro- dan mikrofauna dan banyak sekali zooplankton yang bergerak searah dengan arus. Kebanyakan organisme terkecil adalah larva ikan dan invertebrata laut yang mengeluarkan telur dalam jumlah besar karena kemungkinan embrio dapat bertahan sampai dewasa sangat kecil.[112] Zooplankton memakan fitoplankton dan zooplankton lainnya, dan merupakan bagian dasar dari rantai makanan yang kompleks: zooplankton dimakan oleh ikan dan organisme nektonik lain, dan lalu ikan dimangsa oleh hewan seperti hiu dan lumba-lumba.[113] Beberapa hewan laut melakukan migrasi, seperti migrasi musiman ke wilayah lain di samudra, atau migrasi harian secara vertikal untuk mencari makan di bagian atas pada malam hari dan lalu kembali ke bagian bawah untuk berlindung pada siang hari.[114] Kapal-kapal juga dapat membawa atau menyebarkan spesies invasif saat kapal-kapal tersebut mengeluarkan isi ballast atau dengan mengangkut organisme yang telah mengalami akumulasi di lambung kapal.[115]

Cacing-cacing Osedax yang menempel di sisa tulang belulang paus

Zona demersal menopang kehidupan banyak hewan yang memakan organisme bentik atau yang mencari perlindungan dari para predator. Dasar laut menyediakan habitat di atas atau di bawah permukaan substrat yang dipakai oleh organisme yang telah berevolusi pada kondisi tersebut. Mintakat pasang surut yang terpapar udara secara berkala merupakan tempat tinggal teritip, moluska, dan krustasea. Zona neritik memiliki banyak organisme yang membutuhkan sinar untuk berkembang. Di sana, Porifera, Echinodermata, Polychaeta, anemon laut, dan invertebrata-invertebrata lainnya tinggal di bebatuan yang diselimuti alga. Karang sering kali dihuni oleh simbion-simbion fotosintetik dan dapat ditemui di perairan dangkal yang dapat ditembus cahaya. Kerangka kapur yang dibentuk olehnya merupakan kenampakan dasar laut yang penting. Sementara itu, tidak banyak kehidupan di laut yang lebih dalam, tetapi kehidupan laut juga berkembang di sekitaran gunung laut, tempat ikan dan hewan-hewan lainnya berkumpul dan mencari makan. Ikan demersal tinggal di dekat dasar laut dan memangsa organisme pelagik atau invertebrata bentik.[116] Penjelajahan laut dalam sendiri telah menguak dunia baru yang sebelumnya tak pernah dilihat oleh para ilmuwan. Beberapa hewan seperti detritivora bergantung pada materi organik yang jatuh ke dasar samudra ("salju laut"). Kehidupan lainnya berkumpul di sekitaran ventilasi hidrotermal di dasar laut, dan dari situ keluar air yang kaya akan mineral yang menopang berbagai macam organisme, dengan produsen primer berupa bakteri kemoautotrofik yang mengoksidasi sulfida, dan para konsumennya meliputi Bivalvia terspesialisasi, anemon laut, teritip, kepiting, cacing, dan ikan yang biasanya tidak dapat ditemui di tempat lain.[10](hlm.212) Paus yang sudah mati dan tenggelam ke dasar samudra juga menjadi sumber makanan bagi sejumlah organisme yang turut bergantung pada bakteri pengoksidasi sulfur. Bangkai paus (termasuk kerangkanya yang kaya akan lipid) menopang bioma-bioma unik dengan banyak mikrob baru dan kehidupan-kehidupan lainnya yang belum ditemukan.[117]

Manusia dan laut

[sunting | sunting sumber]
Relief kapal di Candi Borobudur
Pada tanggal 12 Oktober 1492, penjelajah Italia Kristoforus Kolumbus berhasil "menemukan" Benua Amerika untuk Spanyol (lukisan tahun 1893)
Sebuah astrolab

Sejarah navigasi dan penjelajahan

[sunting | sunting sumber]

Manusia telah menjelajahi laut sejak zaman prasejarah, biasanya dengan menggunakan rakit dan perahu lesung, perahu alang-alang, dan kano dari kulit pohon. Sekitar tahun 3000 SM, bangsa Austronesia di Taiwan sudah mulai menyebar ke wilayah kepulauan di Asia Tenggara.[118] Kemudian, orang-orang "Lapita" dari rumpun Austronesia menyebar luas di wilayah yang terbentang dari Kepulauan Bismarck hingga ke Fiji, Tonga, dan Samoa.[119] Keturunan mereka mengarungi lautan sejauh ribuan kilometer dari satu pulau ke pulau lainnya hanya dengan menggunakan sebuah kano,[120] dan dalam prosesnya mereka menemukan banyak pulau baru, termasuk Hawaii, Pulau Paskah (Rapa Nui), dan Selandia Baru.[121]

Bangsa Mesir Kuno dan Fenisia telah menjelajahi Laut Tengah dan Laut Merah, sementara Hannu dari Mesir berhasil mencapai Semenanjung Arab dan Pesisir Afrika sekitar tahun 2750 SM.[122] Pada milenium pertama SM, bangsa Fenisia dan Yunani telah mendirikan koloni-koloni di pesisir Laut Tengah dan Laut Hitam,[123] Sekitar tahun 500 SM, seorang navigator Kartago yang bernama Hanno menulis catatan perjalanannya yang menunjukkan bahwa ia paling tidak telah mencapai pesisir Senegal, atau mungkin malah hingga sejauh Gunung Kamerun.[124][125] Pada abad pertengahan awal, bangsa Viking berhasil melintasi Samudra Atlantik Utara hingga mencapai ujung timur laut benua Amerika.[10](hlm.12–13) Orang-orang Novgorod juga telah berlayar di Laut Putih dari abad ke-13 atau bahkan sebelumnya.[126] Sementara itu, laut beserta dengan pesisir Asia timur dan selatan dimanfaatkan oleh pedagang Arab dan Tionghoa.[127] Dinasti Ming di Tiongkok bahkan memiliki armada yang terdiri dari 317 kapal dengan 37.000 awak yang dipimpin oleh Cheng Ho pada awal abad ke-15; armada ini menjelajahi wilayah pesisir Samudra Hindia dan Pasifik.[10](hlm.12–13)

Pada akhir abad ke-15, para pelaut Eropa Barat mulai mencari jalur dagang yang baru. Bartolomeu Dias mengelilingi Tanjung Harapan pada tahun 1487 dan Vasco da Gama mencapai India lewat tanjung tersebut pada tahun 1498. Kristoforus Kolumbus berlayar dari Cadiz pada tahun 1492 dalam upaya untuk mencapai wilayah India di timur dengan cara berlayar ke barat. Ia malah mendarat di sebuah pulau di Laut Karibia, dan beberapa tahun kemudian seorang navigator Venesia yang bernama Giovanni Caboto berhasil mencapai Newfoundland. Penjelajah Italia Amerigo Vespucci, yang menjadi asal nama benua Amerika, menjelajahi pesisir Amerika Selatan dari tahun 1497 hingga 1502, dan ia juga menemukan mulut Sungai Amazon.[10](hlm.12–13) Pada tahun 1519, seorang navigator Portugis yang bernama Fernando de Magelhaens memimpin ekspedisi pertama yang bertujuan mengelilingi dunia.[10](hlm.12–13)

Peta dunia karya Gerardus Mercator dari tahun 1569. Garis pantai Dunia Lama digambarkan dengan cukup akurat, tetapi proyeksi untuk kawasan-kawasan di lintang tinggi menjadi terlalu besar.

Terkait dengan sejarah alat navigasi, kompas pertama kali digunakan oleh orang Yunani dan Tionghoa kuno untuk menunjukkan orientasi utara dan mengetahui ke mana kapal mengarah. Garis lintang ditentukan dengan menggunakan astrolab, tongkat Jacob, atau sekstan, sementara garis bujur hanya dapat dihitung dengan kronometer yang akurat untuk menunjukkan perbedaan waktu yang pasti antara kapal dengan titik yang telah ditentukan, seperti Meridian Greenwich. Pada tahun 1759, seorang pembuat jam yang bernama John Harrison merancang alat semacam itu dan James Cook menggunakan alat ini selama perjalanannya mengarungi samudra.[128] Kini Sistem Pemosisi Global (GPS) menggunakan lebih dari tiga puluh satelit untuk memungkinkan navigasi secara akurat di seluruh dunia.[128]

Terkait dengan peta yang juga sangat penting untuk navigasi, pada abad kedua, Ptolemeus telah memetakan wilayah-wilayah dunia yang dikenal pada masa itu, dari "Fortunatae Insulae" (Tanjung Verde atau Kepulauan Kanari) di barat hingga Teluk Thailand di timur. Peta ini digunakan pada tahun 1492 oleh Kristoforus Kolumbus.[129] Kemudian, Gerardus Mercator membuat peta dunia pada tahun 1538 dengan proyeksi yang meluruskan garis-garis rhumb,[10](hlm.12–13) sehingga menghasilkan proyeksi yang terlalu besar untuk wilayah-wilayah di lintang tinggi seperti wilayah Artik. Pada abad ke-18, peta yang tersedia sudah lebih baik daripada sebelumnya, dan salah satu tujuan perjalanan James Cook adalah untuk melakukan pemetaan lebih lanjut. Penelitian ilmiah berlanjut dengan pengukuran kedalaman oleh Tuscarora, penelitian samudra oleh ekspedisi Challenger (1872–1876), kiprah pelaut Skandinavia Roald Amundsen dan Fridtjof Nansen, ekspedisi Michael Sars pada tahun 1910, ekspedisi Atlantik Jerman pada tahun 1925, survei Discovery II di Antarktika pada tahun 1932, dan seterusnya.[24] Selain itu, pada tahun 1921, didirikan Organisasi Hidrografi Internasional yang merupakan badan yang kompeten dalam melakukan survei hidrografi dan pemetaan bahari.[130]

Sejarah oseanografi dan penjelajahan laut dalam

[sunting | sunting sumber]
Don Walsh (kiri) dan Jacques Piccard (tengah) di dalam batiskaf selam Trieste

Oseanografi ilmiah bermula dari pelayaran Kapten James Cook dari tahun 1768 hingga 1779 yang mendeskripsikan Lautan Pasifik dari 71 derajat Selatan hingga 71 derajat Utara dengan tingkat ketelitian yang tinggi.[10](hlm.14) Kronometer buatan John Harrison membantu navigasi dan pemetaan yang dilakukan oleh James Cook selama dua perjalanannya, dan keberhasilan ini lalu meningkatkan standar upaya-upaya penelitian berikutnya.[10](hlm.14) Ekspedisi-ekspedisi lainnya dilancarkan pada abad ke-19 oleh Rusia, Prancis, Belanda, Amerika Serikat, serta Britania Raya.[10](hlm.15) Kemudian, di atas HMS Beagle yang ditumpangi oleh Charles Darwin selama perjalanan yang memberikannya ilham untuk menulis buku On the Origin of Species, nakhoda kapalnya, Robert FitzRoy, memetakan lautan dan pesisir dan menerbitkan laporan yang terdiri dari empat volume mengenai tiga perjalanan kapal tersebut pada tahun 1839.[10](hlm.15) Buku Edward Forbes dari tahun 1854 yang berjudul Distribution of Marine Life berpendapat bahwa kehidupan tidak bisa tumbuh di bawah kedalaman 600 meter, tetapi hal ini kemudian dibantah oleh ahli biologi Britania W. B. Carpenter dan C. Wyville Thomson yang menemukan kehidupan di laut dalam dengan metode pengerukan pada tahun 1868.[10](hlm.15) Wyville Thompson lalu menjadi kepala ilmuwan ekspedisi Challenger pada 1872–1876, yang menjadi perintis ilmu oseanografi.[10](hlm.15)

Dalam perjalanan keliling dunia sepanjang 68.890 mil laut (127.580 km), HMS Challenger menemukan sekitar 4.700 spesies laut baru, dan juga melakukan 492 pemeruman laut dalam, 133 pengerukan dasar laut, 151 pemukatan perairan lepas, dan 263 pengamatan suhu air.[131] Di Samudra Atlantik Selatan pada tahun 1898/1899, Carl Chun di atas Valdivia menemukan banyak bentuk kehidupan baru dari kedalaman yang melebihi 4.000 m. Pengamatan hewan laut dalam di lingkungan alami mereka pertama kali dilakukan pada tahun 1930 oleh William Beebe dan Otis Barton yang turun hingga kedalaman 434 m dengan menggunakan batisfer yang terbuat dari baja.[132] Kemudian, pada tahun 1960, Jacques Piccard mengembangkan batiskaf selam Trieste yang berhasil membawa Don Walsh dan Jacques Piccard ke dasar Palung Mariana di Samudra Pasifik dan mencapai rekor kedalaman 10.915 m.[133] Pencapaian yang sama baru terulang pada tahun 2012 ketika James Cameron mengemudikan Deepsea Challenger ke kedalaman serupa.[134] Pakaian selam atmosfer dapat dikenakan untuk menjelajahi dasar laut, dan rekor dunia untuk penjelajahan terdalam dengan menggunakan pakaian ini dicetak pada tahun 2006 ketika seorang penyelam Angkatan Laut Amerika Serikat mencapai kedalaman 610 m.[135]

Di laut dalam, sinar matahari tidak dapat tembus dan tekanannya sangat tinggi. Untuk menjelajahi laut dalam, diperlukan kendaraan-kendaraan khusus, baik itu kendaraan bawah laut yang dikendalikan dari jauh dan dlengkapi dengan pencahayaan dan kamera, atau kendaraan selam yang dapat ditumpangi awak. Kendaraan selam Mir dapat ditumpangi oleh tiga awak dan turun hingga kedalaman 6.000 m. Kendaraan tersebut dilengkapi dengan cahaya 5.000 watt, perlengkapan video, dan lengan mekanik untuk mengumpulkan sampel atau memasang alat peneliti.[136]

Batimetri adalah pemetaan dan pengkajian topografi dasar lautan. Metode yang digunakan untuk mengukur kedalaman laut meliputi perum gema, laser airborne depth sounder, atau penghitungan kedalaman dari data penginderaan jauh dari satelit. Informasi ini digunakan untuk menentukan rute kabel dan pipa bawah laut, untuk menentukan lokasi anjungan lepas pantai yang sesuai, dan untuk mencari tempat penangkapan ikan yang baru.[137]

Penelitian oseanografi yang sedang berlangsung saat ini adalah penelitian kehidupan laut, konservasi, lingkungan laut, kimia laut, dinamika iklim dan permodelannya, batas udara-laut, pola cuaca, sumber daya laut, energi terbarukan, ombak dan arus, serta perancangan dan pengembangan alat-alat dan teknologi-teknologi baru untuk meneliti laut dalam.[138] Pada era 1960-an dan 1970-an, penelitian berfokus pada taksonomi dan biologi dasar, tetapi pada era 2010-an perhatian telah teralih ke topik-topik besar seperti perubahan iklim.[139] Untuk mengumpulkan data lapisan permukaan, para peneliti dapat memanfaatkan penginderaan jauh dari satelit, tetapi untuk memperoleh data dari laut dalam diperlukan pengukuran yang dilakukan secara in situ, seperti kapal penelitian, alat pengamatan yang ditambatkan, serta kendaraan bawah laut.[140]

Perjalanan

[sunting | sunting sumber]
RMS Titanic, kapal penumpang raksasa yang tenggelam di Samudra Atlantik Utara pada tanggal 15 April 1912

Kapal layar atau kapal paket mengangkut surat ke seberang laut. Salah satu kapal paket pertama berlayar dari Belanda ke Batavia pada tahun 1670-an.[141] Penumpang boleh naik, tetapi kondisi di dalam kapal tidak layak. Pelayaran penumpang terjadwal kemudian berkembang, tetapi waktu pelayarannya tergantung cuaca. Ketika kapal uap menggantikan kapal layar, kapal samudra menjelma sebagai kapal penumpang. Pada awal abad ke-20, pelayaran lintas Atlantik memakan lima hari. Banyak perusahaan kapal berlomba-lomba membuat kapal terbesar dan tercepat. Blue Riband adalah penghargaan tak resmi yang dipersembahkan kepada kapal tercepat yang melintasi Atlantik dengan jadwal rutin. Mauretania memegang rekor kecepatan 26,06 knot (48,26 km/jam) selama dua puluh tahun sejak 1909.[142] Hales Trophy, penghargaan pelayaran komersial tercepat melintasi Atlantik, dimenangkan oleh United States pada tahun 1952 dengan masa berlayar 3 hari 10 jam 40 menit.[143]

Kapal samudra nyaman, tetapi bahan bakar dan stafnya memakan biaya yang besar. Masa kejayaan kapal penumpang lintas Atlantik berakhir seiring murahnya biaya penerbangan lintas benua. Pada tahun 1958, penerbangan rutin antara New York dan Paris dengan masa tempuh tujuh jam mengguncang industri kapal penumpang transatlantik. Kapal demi kapal dipensiunkan. Beberapa kapal diloakkan dan sisanya dijadikan kapal pesiar untuk industri pelancongan dan hotel mengapung.[144] Namun, laut masih menjadi pilihan bagi pengungsi yang menaiki perahu taklayak. Mereka biasanya membayar penyelundup agar bisa berlayar. Ada yang mengungsi karena berlindung dari penindasan dan ada pula yang mengungsi karena mencari penghidupan layak di luar negeri..[145]

Gambar seorang penyelam lengkap dengan masker selam, tabung oksigen, dan kaki katak

Pemanfaatan laut untuk rekreasi dan wisata sudah dimulai pada abad ke-19, dan lalu menjadi industri yang besar pada abad ke-20.[146] Terdapat berbagai macam aktivitas rekreasi di laut, seperti yachting, balap perahu motor[147] memancing,[148] naik kapal pesiar,[149] serta kegiatan pariwisata ekologi seperti melihat paus dan mengamati burung laut.[150]

Banyak manusia yang senang bermain, berendam, atau bersantai di pantai. Namun, berendam di laut baru mulai menjadi kegiatan yang populer di Eropa pada abad ke-18 setelah Dr. William Buchan menganjurkannya demi kesehatan.[151] Sementara itu, selancar adalah olahraga menaiki sebilah papan untuk bermanuver di atas ombak. Olahraga laut lainnya meliputi selancar layang,[152] selancar angin,[153] dan ski air.[154]

Selam bebas merupakan olahraga yang mencoba mencapai kedalaman tanpa alat bantu pernapasan. Para pemburu mutiara tradisional biasanya menyemiri kulit mereka dengan minyak, memasukkan kapas ke dalam telinga mereka, menjepit hidup mereka, dan lalu menyelam sedalam 12 m dengan keranjang untuk mengumpulkan tiram mutiara.[155] Mata manusia tidak cocok untuk digunakan di bawah air, tetapi penglihatan dapat ditunjang dengan memakai masker selam. Alat-alat lainnya yang juga berguna untuk melakukan selam bebas adalah kaki katak dan snorkel. Sementara itu, alat bantu pernapasan bawah air memungkinkan penapasan di kedalaman selama berjam-jam.[156] Namun, para penyelam dibatasi oleh menguatnya tekanan semakin dalam mereka menyelam, dan mereka harus menghindari penyakit dekompresi saat kembali ke permukaan. Penyelam yang hanya ingin berekreasi disarankan untuk tetap berada di atas kedalaman 30 m, karena jika mereka menyelam lebih dalam dapat terserang narkosis nitrogen. Penyelaman yang lebih dalam dari penyelaman rekreasional sendiri hanya dapat dilakukan dengan alat dan pelatihan khusus.[156]

Perdagangan

[sunting | sunting sumber]
Peta yang menunjukkan kepadatan relatif pada rute perkapalan komersial di seluruh dunia

Perdagangan laut sudah ada selama beberapa milenium. Wangsa Ptolemaios berdagang dengan India dengan menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Laut Merah, sementara pada milenium pertama SM orang-orang Arab, Fenisia, Bani Israil, dan India memperdagangkan barang-barang mewah seperti rempah-rempah, emas, dan batu-batu mulia.[157] Orang-orang Fenisia dikenal sebagai pedagang yang ulung, dan pada masa Yunani dan Romawi perdagangan terus berkembang. Meskipun perdagangan di Eropa sempat mengalami kemunduran akibat runtuhnya Kekaisaran Romawi, perdagangan masih berkembang di wilayah-wilayah lainnya seperti Afrika, Timur Tengah, India, Tiongkok, dan Asia Tenggara.[158]

Saat ini, banyak barang yang diangkut lewat laut, khususnya lewat Samudra Atlantik dan di sekitaran Lingkar Pasifik. Rute perdagangan besar melintasi Pilar-Pilar Herkules, Laut Tengah, Terusan Suez, Samudra Hindia, dan Selat Malaka; banyak kapal dagang yang juga melewati Selat Inggris.[159] Jalur-jalur perkapalan dipakai oleh kapal-kapal muatan, yang memanfaatkan arus dan angin. Lebih dari 60% lalu lintas kapal kontainer dunia melewati dua puluh rute dagang utama.[160] Peningkatan pelelehan es di Artik sejak tahun 2007 juga membuat kapal-kapal dapat melewati Perlintasan Barat Laut selama beberapa minggu pada musim panas, sehingga kapal-kapal ini dapat menghindari rute-rute lain yang lebih panjang (seperti rute lewat Terusan Panama).[161] Secara keseluruhan, nilai barang yang diangkut lewat laut diperkirakan melebihi US$4 triliun setiap tahunnya.[162]

Terdapat dua jenis muatan, yaitu muatan curah dan muatan break bulk atau muatan umum. Komoditas-komoditas dalam bentuk cair, bubuk, atau partikel diangkut dalam kapal muatan curah dan meliputi minyak, gandum, batubara, bijih, logam bekas, pasir, dan kerikil. Muatan break bulk biasanya terdiri dari barang-barang jadi dan diangkut dalam kemasan-kemasan yang sering kali diletakkan di atas palet. Sebelum terjadinya kontainerisasi pada era 1950-an, barang-barang dimuat, diangkut, dan dikeluarkan sedikit demi sedikit.[163] Pemakaian kontainer sangat meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya pengangkutan,[164] dan kini kebanyakan muatan dipindahkan dengan menggunakan kontainer yang dapat dikunci dan berukuran standar yang diangkut di kapal-kapal kontainer.[165][165]

Perikanan

[sunting | sunting sumber]
Kapal nelayan di Sri Lanka
Kapal-kapal pukat Brixham pada abad ke-19
Sekitar 400 ton ikan makerel sedang diangkat dengan menggunakan pukat cincin di perairan Peru.

Ikan dan produk perikanan lainnya merupakan sumber protein dan nutrien-nutrien lainnya yang diperlukan demi keseimbangan nutrisi.[166] Pada tahun 2009, 16,6% dari asupan protein hewani dan 6,5% dari asupan protein di seluruh dunia diperoleh dari ikan.[166] Untuk memenuhi kebutuhan yang besar ini, negara-negara pesisir memanfaatkan sumber daya laut di zona ekonomi eksklusif, tetapi kapal-kapal nelayan juga semakin banyak yang pergi menangkap ikan di perairan internasional.[167] Pada tahun 2011, jumlah produksi ikan dunia (termasuk akuakultur) diperkirakan mencapai 154 juta ton, kebanyakan untuk dikonsumsi oleh manusia.[166] Sekitar 90 juta ton dari antaranya diperoleh dari penangkapan ikan di alam bebas, sementara sisanya berasal dari budi daya perairan.[166] Kawasan yang paling produktif adalah Samudra Pasifik Barat Laut dengan jumlah tangkapan sebesar 20,9 juta ton (27% tangkapan laut global) pada tahun 2010.[166] Selain itu, pada tahun 2010, diperkirakan terdapat 4,36 juta kapal penangkap ikan di seluruh dunia, dan sektor perikanan juga menjadi mata pencaharian bagi 54,8 juta orang di seluruh dunia pada tahun 2010.[166] Jika digabung dengan pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan perikanan, seperti pemrosesan, pemasaran, distribusi, pembuatan alat penangkap ikan, produksi es, pembangunan kapal, atau penelitian, diperkirakan perikanan secara keseluruhan menunjang kehidupan sekitar 660-820 juta orang atau 10-12% populasi dunia.[166]

Beberapa jenis kapal penangkap ikan modern adalah kapal pukat hela, kapal pukat tarik, kapal rawai, serta kapal pemrosesan ikan yang dapat berada di lautan selama berminggu-minggu dan membekukan dan memroses banyak sekali ikan. Peralatan yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan adalah pukat cincin, pukat-pukat lainnya, jaring insang, dan tali pancing panjang. Sementara itu, jenis ikan yang paling sering ditangkap adalah haring, kod, teri, tuna, ikan sebelah, belanak, cumi-cumi, dan salmon.[168] Namun, penangkapan ikan secara berlebihan telah menjadi permasalahan yang serius. Overeksploitasi tidak hanya berdampak terhadap ikan yang ditangkap, tetapi juga terhadap predator-predator besar.[169] Hasil kajian Myers & Worm yang diterbitkan di jurnal Nature pada tahun 2003 menunjukkan bahwa perikanan yang terindustrialisasi umumnya mengurangi biomassa komunitas sebesar 80% dalam kurun waktu 15 tahun setelah dimulainya eksploitasi.[169] Untuk menghindari overeksploitasi, banyak negara yang telah menetapkan kuota penangkapan di perairan mereka.[168] Namun, upaya untuk memulihkan sektor perikanan dapat mengakibatkan penurunan hasil tangkapan dan keuntungan nelayan, sehingga banyak negara yang enggan mengambil tindakan yang tidak populer seperti ini.[170] Meskipun begitu, hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature pada April 2018 menunjukkan bahwa negara-negara dapat memulihkan sektor perikanan mereka dengan mengganyang penangkapan ikan ilegal.[170] Menurut hasil penelitian tersebut, semenjak Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Susi Pudjiastuti mengalakkan kebijakan yang agresif dalam memberantas kapal-kapal penangkap ikan ilegal, upaya tangkap berkurang sebesar 25%.[170] Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan jumlah tangkapan sebesar 14% dan keuntungan sebesar 12%.[170] Dengan mengambil langkah semacam ini, ekonomi dan persediaan pangan setempat tidak perlu dikorbankan demi proses pemulihan.[170]

Tempat budi daya salmon di perairan Vestmanna, Kepulauan Faroe.

Sekitar 79 juta ton produk makanan dan non-makanan juga dihasilkan dengan cara budi daya perairan pada tahun 2010. Terdapat sekitar 600 spesies air yang dibudidayakan, termasuk produksi untuk memberi makan populasi di alam bebas. Hewan-hewan yang dibudidayakan termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, teripang, bulu babi, dan ubur-ubur.[166] Keuntungan budi daya dalam bentuk marikultur adalah ketersediaan makanan berupa plankton, dan limbah dari proses budi daya juga tersingkirkan secara alami.[171] Terdapat beberapa metode yang digunakan. Mata jaring terapung dapat digunakan untuk ikan bersirip di laut terbuka, sementara kandang dapat dipakai di perairan yang lebih terlindungi atau kolam yang dapat disegarkan dengan air setiap kali terjadi pasang naik. Udang dapat dibudidayakan di kolam-kolam dangkal yang terhubung dengan laut terbuka.[172] Tali rentang dapat dipasang di air untuk membudidayakan alga, tiram, dan kerang. Teripang dapat diternak di dasar perairan.[173] Program pengembangbiakkan di penangkaran juga telah membesarkan larva lobster yang kemudian dilepaskan ke alam bebas, sehingga menambah tangkapan lobster di Maine.[174] Sementara itu, terdapat paling tidak 145 spesies rumput laut yang dikonsumsi di seluruh dunia, dan beberapa telah lama dibudidayakan di Jepang dan negara-negara Asia lainnya; selain itu, terdapat pula potensi yang besar dalam mengembangkan algakultur.[175] Terkait dengan tumbuhan-tumbuhan berbunga di laut, tidak banyak yang dijadikan makanan, tetapi salah satu contohnya adalah Salicornia europaea yang dapat dimakan mentah maupun matang.[176] Salah satu kesulitan terbesar dalam melakukan budi daya perairan adalah kecenderungan monokultur dan risiko dari penyebaran penyakit. Pada era 1990-an, wabah penyakit mengakibatkan kematian massal kapis farrer dan udang putih, sehingga mereka harus digantikan oleh spesies yang lain.[177] Selain itu, budi daya perairan juga dapat berdampak terhadap lingkungan; contohnya, budi daya udang menyebabkan kehancuran hutan-hutan bakau di Asia Tenggara.[178]

Peta Zona Ekonomi Eksklusif di Samudra Pasifik

Hukum laut adalah bagian dari hukum internasional yang mengatur isu-isu maritim. Pada tahun 1609, seorang ahli hukum yang bernama Hugo Grotius menulis sebuah risalah yang berjudul Mare Liberum. Risalah ini menyampaikan argumen-argumen yang mendukung kebebasan laut, yaitu konsep yang menyatakan bahwa laut bebas digunakan oleh semua dan tidak ada yang boleh melarang negara lain menggunakannya.[179] Cornelius van Bynkershoek lalu mengembangkan gagasan yang menyatakan bahwa negara memiliki hak atas perairan yang terletak bersebelahan dengan wilayah pesisirnya.[180] Menurutnya, wilayah perairan suatu negara terbentang hingga sejauh mana meriam di daratan dapat menjangkau.[181] Pada masa ketika ia mengeluarkan pernyataan tersebut, jangkauan maksimal meriam di daratan adalah 3 mil laut (5.556 m),[181] sehingga negara-negara maritim pun mulai menetapkan batas tiga mil.[181] Namun, klaim sepihak Presiden Harry S. Truman atas cadangan minyak di landas benua Amerika pada tahun 1945[182] mengakhiri tatanan yang berlaku sebelumnya.[183] Kemudian, diadakan tiga putaran konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang merombak hukum maritim internasional, tetapi Amerika Serikat masih belum meratifikasi perjanjian yang dihasilkan oleh konferensi-konferensi tersebut.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea, disingkat UNCLOS) mulai berlaku pada tahun 1994, setelah Guyana menjadi negara ke-60 yang meratifikasi perjanjian tersebut.[183] Pasal 87(1) Konvensi tersebut menyatakan bahwa "laut lepas terbuka untuk semua negara, baik negara pantai atau terkurung daratan", dan pasal ini juga berisi contoh-contoh kebebasan laut lepas yang meliputi kebebasan berlayar, penerbangan, pemasangan kabel bawah laut, pembangunan pulau-pulau buatan, perikanan, dan penelitian ilmiah.[184] Konvensi ini memperluas laut teritorial hingga jarak 12 mil laut (22,2 km) dari garis pangkal yang umumnya merupakan (tetapi tidak selalu sama dengan) garis air rendah. "Perairan internal" sendiri terletak dari garis pangkal ke arah daratan dan sepenuhnya dikendalikan oleh negara pantai. Di sisi lain, "zona tambahan" terletak hingga sejauh 12 mil laut dari laut teritorial, dan di sini negara dapat melakukan pengejaran seketika terhadap kapal-kapal yang dinyatakan melanggar hukum bea cukai, perpajakan, imigrasi, atau polusi di laut teritorial. Selain itu, "zona ekonomi eksklusif" atau ZEE terletak sejauh 200 mil laut dari garis pangkal dan memberikan hak untuk mengeksploitasi kehidupan laut dan mineral kepada negara pantai. Sementara itu, dalam ranah hukum, "landas benua" dianggap sebagai dasar laut atau tanah di bawahnya "yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur".[185] Negara pantai berhak untuk mengeksploitasi sumber daya alam di landas benua.[186]

Sebuah kapal Bizantium menggunakan api Yunani untuk menyerang kapal pemberontak pada abad ke-9

Kendali atas laut merupakan hal yang penting untuk menjaga keamanan suatu negara maritim, dan blokade terhadap pelabuhan dapat menghentikan pasokan makanan dan barang-barang lainnya. Pertempuran telah berkecamuk di lautan selama lebih dari 3.000 tahun. Sekitar tahun 1210 SM, Raja Het Suppiluliuma II berhasil mengalahkan dan membakar armada dari Alashiya (Siprus modern).[187] Dalam Pertempuran Salamis pada tahun 480 SM, Themistokles mampu menjebak armada Persia yang jauh lebih besar jumlahnya di sebuah selat yang sempit, dan akhirnya berhasil menghancurkan 200 kapal Persia dengan mengorbankan 40 kapal Yunani.[188] Salah satu pertempuran laut lain yang terkenal berlangsung pada tahun 1805, ketika armada Inggris yang dipimpin oleh Horatio Nelson berhasil mengalahkan kekuatan armada gabungan Prancis dan Spanyol dalam Pertempuran Trafalgar.[189]

Lukisan karya Cornelis Claesz van Wieringen yang menggambarkan Pertempuran Gibraltar (1607)
Serangan Pearl Harbor

Seiring dengan perkembangan teknologi dan industri, kapal-kapal perang menjadi semakin mutakhir dengan daya tembak yang semakin besar. Pada tahun 1905, armada Jepang berhasil mengalahkan armada Rusia yang telah berkelana sejauh 18.000 mil laut (33.000 km) dalam Pertempuran Tsushima.[190] Pada tahun 1906, Britania Raya mulai menggunakan kapal HMS Dreadnought yang baru saja selesai dibangun. Kapal yang dikenal akan senapan-senapan raksasanya ini memicu perlombaan senjata laut yang sengit di antara Britania Raya dengan Kekaisaran Jerman, dan kemudian negara-negara lain juga ikut membuat kapal dreadnought mereka sendiri.[191] Kapal semacam ini baru digunakan untuk berperang dalam Pertempuran Jutland selama Perang Dunia Pertama.[192] Pada masa Perang Dunia II, kemenangan besar Britania dalam Pertempuran Taranto tahun 1940 menunjukkan pentingnya kekuatan udara di laut untuk mengalahkan kapal-kapal perang raksasa.[193] Maka dari itu, pertempuran-pertempuran laut besar yang terjadi di Teater Pasifik (seperti Pertempuran Laut Karang, Midway, Laut Filipina, dan Teluk Leyte) didominasi oleh kapal-kapal induk.[194][195]

Kapal selam mulai menjadi bagian yang penting dalam peperangan di laut setelah kapal-kapal selam Jerman yang dijuluki U-Boot menenggelamkan hampir 5.000 kapal pedagang milik negara-negara Sekutu,[196] termasuk kapal RMS Lusitania yang menjadi faktor yang mendorong Amerika Serikat bergabung dengan pihak Sekutu selama Perang Dunia I.[197] Pada masa Perang Dunia II, hampir 3.000 kapal Sekutu ditenggelamkan oleh U-Boot yang mencoba menghentikan pengiriman persediaan ke Britania,[198] tetapi Sekutu berhasil mematahkan blokade ini dalam Pertempuran Atlantik dan menenggelamkan 783 U-Boot.[199] Semenjak tahun 1960, beberapa negara telah memiliki armada kapal selam misil balistik bertenaga nuklir, yang dapat meluncurkan misil balistik bersenjata nuklir dari dasar laut. Beberapa kapal selam semacam ini melakukan patroli secara permanen.[200][201]

Perompakan

[sunting | sunting sumber]
Para perompak Somalia dengan senapan serbu AKM, granat berpeluncur roket RPG-7, dan pistol semi otomatis.

Perompakan di laut sudah dilakukan sejak zaman dahulu kala, dan kemungkinan kegiatan semacam ini muncul bersamaan dengan dimulainya pengiriman barang lewat kapal.[202] Selat-selat sempit yang dilalui oleh kapal-kapal dagang sering kali dimanfaatkan oleh para perompak yang mencari keuntungan.[203] Pada awal abad ke-21, perompakan masih menjadi masalah yang serius, dan pada tahun 2004 kegiatan pembajakan di laut diperkirakan mengakibatkan kerugian sebesar US$16 miliar per tahun.[204] Contoh perairan yang masih menghadapi ancaman dari para perompak adalah Selat Malaka[205] dan pesisir Somalia.[206]

Dalam hukum internasional, para perompak dianggap sebagai hostis humani generis atau "musuh kemanusiaan".[207] Tindakan pembajakan di laut dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dunia, dan tindakan tersebut juga sering kali dilakukan di laut lepas yang berada di luar kendali negara berdaulat, sehingga tindakan perompakan pun masuk ke dalam cakupan yurisdiksi universal.[207] Maka dari itu, semua negara dapat mengambil tindakan untuk membasmi mereka, dan para pelaku perompakan dapat diseret ke meja hijau di pengadilan negara manapun.[207] Berdasarkan Pasal 101 UNCLOS, tindakan pembajakan di laut dapat didefinisikan sebagai "setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal (...) swasta, dan ditujukan di laut lepas, terhadap kapal (...) lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal (...) demikian, [atau] terhadap suatu kapal (...), orang, atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun",[208] sehingga tindakan pembajakan di laut tidak sama dengan peperangan di laut yang berlangsung di antara pihak-pihak yang diakui sebagai subjek hukum internasional.[207]

Pembangkit listrik

[sunting | sunting sumber]
Pembangkit listrik tenaga pasang surut pertama di dunia: Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut Rance dengan panjang satu kilometer, yang menghasilkan sekitar 540 GWh per tahun, sekitar 3% dari total konsumsi listrik di Bretagne pada tahun 2011.[209]

Di laut terdapat persediaan energi yang amat besar dalam bentuk ombak, pasang laut, perbedaan salinitas, dan perbedaan suhu samudra, dan sumber-sumber energi ini dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik.[210] Energi laut yang ramah lingkungan meliputi energi pasang surut, tenaga arus laut, tenaga osmosis, tenaga panas samudra, dan tenaga ombak.[210][211]

Tenaga pasang surut menggunakan generator untuk menghasilkan listrik dari pasang laut, terkadang dengan menggunakan bendungan untuk menyimpan dan kemudian mengeluarkan air laut. Pembangkit Listrik Tenaga Pasang Surut Rance dengan panjang satu kilometer di dekat St Malo, Bretagne, dibuka pada tahun 1967; pembangkit listrik tersebut menghasilkan sekitar 0,5 GW, tetapi tidak banyak yang mencoba mengikuti langkah membangun pembangkit listrik semacam ini.[10](hlm.111–112)

Energi ombak yang besar dan sering kali berubah-ubah menjadikan tenaga ini sebagai tenaga dengan kemampuan merusak yang dahsyat, sehingga mesin ombak yang murah dan dapat diandalkan sulit untuk dikembangkan. Pembangkit listrik tenaga ombak dengan kapasitas 2 MW yang disebut "Osprey" dibangun di Skotlandia Utara pada tahun 1995, sekitar 300 meter di lepas pantai. Mesin tersebut kemudian rusak akibat ombak, dan lalu hancur akibat badai.[10](hlm.112) Sementara itu, energi arus samudra dapat memenuhi kebutuhan energi daerah yang dekat dengan laut.[212] Pada dasarnya, energi tersebut dapat dimanfaatkan dengan menggunakan turbin; sistem turbin di dasar laut juga dapat dibuat, tetapi terbatas di kedalaman sekitar 40 m.[213]

Energi angin lepas pantai diperoleh dari pergerakan turbin angin yang ditempatkan di laut; pembangkit listrik semacam ini memiliki keunggulan, karena kecepatan angin di laut lebih tinggi daripada di daratan, walaupun ladang angin sebenarnya membutuhkan biaya yang lebih besar untuk dibangun di lepas pantai.[214] Ladang angin lepas pantai pertama didirikan di Denmark pada tahun 1991,[215] dan kapasitas kincir angin di lepas pantai Eropa mencapai 3 GW pada 2010.[216]

Pembangkit listrik sering kali terletak di pesisir atau di samping muara agar laut dapat dimanfaatkan sebagai pembuang panas. Pembuang panas yang lebih dingin akan membuat pembangkit listrik menjadi lebih efisien, yang sangat penting untuk pembangkit listrik yang mahal seperti pembangkit listrik tenaga nuklir.[217]

Industri ekstraktif

[sunting | sunting sumber]
Endapan-endapan mineral di dasar laut
Anjungan lepas pantai di perairan Brasil

Di dasar laut terdapat banyak cadangan mineral yang dapat dieksploitasi dengan melakukan pengerukan. Keunggulan pengerukan bila dibandingkan dengan penambangan di daratan adalah peralatannya yang dapat dibuat di galangan kapal khusus serta biaya infrastruktur yang lebih rendah. Namun, terdapat pula beberapa kerugian, yaitu masalah yang dipicu oleh ombak dan pasang laut, risiko akumulasi lanau akibat penggalian, serta bahan buangan dari kegiatan penambangan yang dapat terbawa oleh air. Terdapat pula risiko erosi wilayah pesisir dan kerusakan lingkungan hidup.[218]

Fasilitas desalinasi yang menggunakan proses osmosis terbalik

Endapan-endapan sulfida dalam jumlah yang besar di dasar laut dapat menjadi sumber perak, emas, tembaga, timbal, seng, dan logam-logam lainnya. Endapan-endapan tersebut terbentuk ketika air yang mengalami pemanasan secara geotermal dikeluarkan dari ventilasi hidrotermal di laut dalam. Bijih-bijihnya bermutu tinggi, tetapi terlalu mahal untuk diambil.[219] Penambangan berskala kecil di dasar laut sedang dikembangkan di lepas pantai Papua Nugini dengan menggunakan teknik-teknik robotik, tetapi rintangannya sangat besar.[220]

Terdapat cadangan minyak dan gas yang besar di bebatuan di bawah dasar laut. Anjungan lepas pantai dan anjungan pengeboran menyedot minyak atau gas dan menyimpannya untuk diangkut ke darat. Proses produksi minyak dan gas lepas pantai tidaklah mudah akibat lingkungan yang keras dan terpencil.[221] Pengeboran minyak di laut memiliki dampak terhadap lingkungan. Hewan-hewan bisa salah arah akibat gelombang-gelombang seismik yang digunakan untuk mencari cadangan minyak, dan hal ini mungkin mengakibatkan terdamparnya paus.[222] Unsur-unsur beracun seperti raksa, timbal, dan arsenik dapat dikeluarkan selama produksi minyak. Infranstrukturnya juga bisa menyebabkan kerusakan dan minyaknya dapat mengalami kebocoran.[223]

Metana klatrat dalam jumlah yang besar dapat ditemui di dasar laut dan di sedimen lautan pada suhu sekitar 2 °C, dan senyawa ini dianggap sebagai sumber energi potensial. Diperkirakan jumlahnya berkisar antara satu hingga lima juta kilometer kubik.[224] Di dasar laut juga terdapat nodul mangan yang terdiri dari lapisan besi, mangan, dan hidroksida-hidroksida lainnya di sekeliling bagian inti. Di Samudra Pasifik, nodul mangan mungkin melapisi sekitar 30% dasar laut. Mineral ini mengalami reaksi pengendapan dari air laut. Kemungkinan untuk mengambil sumber daya ini untuk memperoleh nikel sempat diselidiki pada era 1970-an, tetapi kemudian ditinggalkan karena terdapat sumber-sumber lain yang lebih mudah untuk dimanfaatkan.[225] Di tempat-tempat yang sesuai, berlian dikumpulkan dari dasar laut dengan menggunakan selang penghisap untuk membawa kerikil ke permukaan. Di Namibia, berlian-berlian sekarang lebih banyak dikumpulkan dari laut ketimbang melalui metode-metode konvensional di darat.[226]

Di laut terdapat banyak sekali mineral terlarut yang berharga.[227] Mineral yang paling penting adalah garam untuk keperluan rumah tangga dan industri, yang telah dikumpulkan dengan memanfaatkan penguapan di kolam-kolam dangkal semenjak zaman prasejarah. Bromin (yang mengalami akumulasi setelah terbawa dari daratan) dapat diambil dari Laut Merah, dan di situ kandungan bromin tercatat sebesar 55.000 ppm (parts per million atau sepersejuta).[228]

Desalinasi adalah teknik untuk mengeluarkan garam dari air laut untuk menghasilkan air tawar yang layak untuk diminum atau untuk irigasi. Terdapat dua metode pengolahan utama, yaitu distilasi vakum dan osmosis terbalik, tetapi kedua metode ini membutuhkan energi yang besar. Desalinasi biasanya hanya dilakukan saat air tawar dari sumber lainnya sangat terbatas atau apabila energi berlimpah, seperti misalnya kelebihan panas yang ditimbulkan dari pembangkit listrik. Air garam yang menjadi produk sampingan mengandung bahan-bahan beracun, sehingga dikembalikan ke laut.[229]

Dampak polusi raksa di samudra: raksa mengalami bioakumulasi pada ikan dan mencemari rantai makanan

Banyak zat yang mencemari laut akibat kegiatan manusia. Produk-produk pembakaran terbawa oleh udara dan lalu mengendap di laut setelah terjadinya presipitasi. Limbah industri, pertanian, dan rumah tangga mengakibatkan masuknya logam berat, pestisida, PCB, disinfektan, produk pembersih, dan bahan kimia sintetik lainnya ke dalam laut. Zat-zat ini pun menumpuk di permukaan dan di sedimen laut, terutama di lumpur muara. Dampak dari limbah-limbah ini tidak diketahui secara pasti akibat banyaknya zat yang masuk dan kurangnya informasi tentang dampaknya secara biologis.[230] Logam-logam berat yang paling mengkhawatirkan adalah tembaga, timbal, raksa, kadmium, dan seng, yang dapat mengalami bioakumulasi pada invertebrata-invertebrata laut. Logam-logam berat ini kemudian akan mencemari rantai makanan.[231]

Sampah di pesisir Singapura
Citra dari satelit yang terlihat seperti lukisan Malam Berbintang karya Vincent van Gogh, tetapi sebenarnya gambar ini menunjukkan peristiwa ledakan populasi alga di perairan di sekitaran Gotland, sebuah pulau milik Swedia di Laut Baltik, yang disebabkan oleh kelebihan nutrien yang dibawa oleh arus di dasar ke permukaan yang disinari matahari

Kebanyakan sampah plastik yang mengambang di lautan tidak dapat langsung terurai.[232] Akibatnya, terdapat pulau sampah raksasa yang kebanyakan terdiri dari sampah plastik di tengah girus Pasifik[233] dan di Samudra Atlantik.[234] Burung-burung laut seperti albatros dan petrel dapat mengira sampah sebagai makanan, sehingga plastik pun akan mengalami akumulasi di dalam sistem pencernaan mereka. Penyu dan paus juga telah ditemukan dengan kantong plastik dan benang pancing di dalam perut mereka. Sementara itu, mikroplastik dapat tenggelam, sehingga mengancam hewan penyaring di dasar laut.[235]

Kebanyakan polusi minyak di laut berasal dari kota dan industri.[236] Minyak dapat membahayakan hewan-hewan laut. Misalnya, minyak yang menutupi bulu burung-burung laut dapat mengurangi efek insulasi dan gaya apung si burung, dan minyak juga dapat tertelan dan meracuni burung ketika mereka mencoba menjilati bulu-bulunya untuk menghilangkan minyak tersebut. Mamalia laut tidak terlalu terkena dampak polusi minyak, tetapi dapat mengalami kedinginan akibat berkurangnya efek insulasi, dan mereka juga bisa buta, dehidrasi, atau keracunan. Invertebrata-invertebrata bentik juga dapat terkontaminasi ketika minyak tenggelam, sementara ikan akan keracunan dan rantai makanan pun terganggu. Dalam jangka pendek, tumpahan minyak dapat mengurangi populasi di alam bebas dan membuat ekosistem menjadi tidak seimbang, mengganggu rekreasi dan pariwisata, serta merusak mata pencaharian orang-orang yang bergantung pada laut.[237] Meskipun begitu, bakteri-bakteri di laut dapat menghilangkan minyak dari lautan. Di Teluk Meksiko, bakteri pemakan minyak sudah ada dan hanya perlu waktu beberapa hari untuk mengonsumsi tumpahan minyak.[238]

Pupuk dari lahan pertanian telah menjadi sumber polusi yang besar di beberapa wilayah. Air limbah yang masuk ke laut juga memiliki dampak yang serupa. Nutrien tambahan dari kedua limbah ini dapat mengakibatkan eutrofikasi atau pertumbuhan tanaman dan alga secara berlebihan. Hal ini dapat mengurangi kadar oksigen di air dan membunuh hewan-hewan laut. Peristiwa semacam ini telah menghasilkan zona-zona mati di Laut Baltik dan Teluk Meksiko.[236] Beberapa peristiwa ledakan populasi alga disebabkan oleh sianobakteri, yang dapat meracuni kerang-kerangan yang memakan organisme-organisme tersebut dengan cara menyaring, sehingga juga akan membahayakan hewan-hewan lain seperti berang-berang laut.[239] Fasilitas nuklir juga dapat mencemari laut. Laut Irlandia terkontaminasi oleh sesium-137 yang bersifat radioaktif dan berasal dari pabrik pemrosesan bahan bakar nuklir Sellafield.[240] Kecelakaan nuklir juga dapat mengakibatkan masuknya materi-materi radioaktif ke dalam laut, seperti yang terjadi selama bencana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima I pada tahun 2011.[241]

Pembuangan limbah (termasuk minyak, cairan berbahaya, limbah, dan sampah) ke laut diatur oleh hukum internasional. Konvensi London (1972) adalah sebuah perjanjian internasional yang bertujuan mengendalikan pembuangan sampah dan limbah ke samudra, dan perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh 89 negara pada tanggal 8 Juni 2012.[242] Selain itu, terdapat konvensi MARPOL 73/78 yang dimaksudkan untuk meminimalisasi polusi yang diakibatkan oleh kapal-kapal di laut. Pada Mei 2013, 152 negara maritim telah meratifikasi MARPOL.[243]

Suku laut asli

[sunting | sunting sumber]
Suku Bajau

Di wilayah Maritim Asia Tenggara terdapat beberapa masyarakat nomaden yang tinggal di perahu dan mencukupi hampir seluruh kebutuhan mereka dari sumber daya laut. Suku Moken dapat dijumpai di pesisir Thailand dan Myanmar serta kepulauan di Laut Andaman.[244] Suku Bajau menempati wilayah pesisir Kepulauan Sulu, Mindanao, Sulawesi, Kalimantan bagian utara, hingga Maluku dan Timor.[245] Suku-suku laut nomaden ini merupakan penyelam bebas yang handal dan mampu mencapai kedalaman 30 m, meskipun beberapa di antara mereka juga tinggal di daratan.[246][247]

Di wilayah Arktik, suku-suku asli seperti suku Chukchi, Inuit, Inuvialuit, dan Yupik memburu mamalia-mamalia laut seperti anjing laut dan paus.[248] Sementara itu, penduduk Kepulauan Selat Torres di Papua Nugini dan Australia menjalani kehidupan tradisional dengan berburu, memancing, berkebun, dan berdagang dengan suku-suku tetangga di daratan utama.[249]

Dalam budaya

[sunting | sunting sumber]
Sebuah ukiran Asiria dari sekitar tahun 700 SM yang menggambarkan ikan dan kepiting sedang berenang di sekitaran sebuah kapal bireme.
Lukisan The Gulf Stream (1899) karya Winslow Homer.

Dalam kebudayaan manusia, laut telah ditafsirkan dengan sudut pandang yang saling berlawanan: laut dianggap kuat tetapi tenang, atau indah tetapi berbahaya.[10](hlm.10) Laut telah digambarkan dalam sastra, seni, puisi, film, drama, musik klasik, mitologi, dan agama.[250] Bangsa-bangsa kuno menciptakan personifikasi laut, dan meyakini bahwa laut dikendalikan oleh dewa/dewi. Laut juga dianggap sebagai tempat yang tidak bersahabat, dan juga sebagai tempat tinggal makhluk-makhluk besar seperti Lewiatan dalam Alkitab,[251] Skilla dalam mitologi Yunani,[252] Isonade dalam mitologi Jepang,[253] dan kraken dalam mitologi Nordik akhir.[254]

Laut, kehidupan di dalamnya, dan kapal-kapal telah digambarkan dalam seni rupa, dari gambar-gambar sederhana di dinding pondok-pondok di Lamu[250] hingga lukisan bentang laut karya Joseph Turner. Dalam lukisan Zaman Keemasan Belanda, seniman-seniman seperti Jan Porcellis, Hendrick Dubbels, Willem van de Velde de Oude dan anaknya, dan Ludolf Bakhuizen memuliakan laut dan angkatan laut Republik Belanda pada puncak kejayaannya.[255][256] Seniman Jepang Katsushika Hokusai juga membuat seni ukiyo-e yang menggambarkan laut, termasuk Ombak Besar di Kanagawa.[10](hlm.8)

Ombak Besar di Kanagawa karya Hokusai dari sekitar tahun 1829

Musik juga telah diilhami oleh samudra, termasuk komponis yang tinggal atau bekerja di dekat pesisir dan melihat laut dari berbagai sudut pandang. Yel-yel laut dinyanyikan oleh para marinir untuk meringankan tugas-tugas berat, dan semenjak itu langgam semacam ini telah meresap ke dalam komposisi musik, termasuk musik yang menggambarkan air yang tenang, ombak yang menghantam, dan badai di laut.[257] Musik klasik yang terkait dengan laut meliputi Der fliegende Holländer karya Richard Wagner,[258] La mer (1903–05) karya Claude Debussy,[259] Songs of the Sea (1904) dan Songs of the Fleet (1910) karya Charles Villiers Stanford, Sea Pictures (1899) karya Edward Elgar, dan A Sea Symphony (1903–1909) karya Ralph Vaughan Williams.[260]

Sebagai sebuah simbol, laut telah menjadi tema dalam sastra, puisi, dan mimpi. Terkadang laut digambarkan sebagai latar belakang yang tenang, tetapi tema-tema yang sering kali digunakan adalah badai, kapal karam, pertempuran, kesulitan, bencana, pupusnya harapan, atau kematian.[261] Contohnya, Homeros di dalam wiracaritanya yang berjudul Odisseia menceritakan perjalanan sepuluh tahun seorang pahlawan Yunani yang bernama Odisseus, yang berjuang untuk pulang dan harus mengarungi lautan yang sangat berbahaya seusai perang yang digambarkan dalam Iliad.[262] Laut juga sering kali menjadi tema dalam puisi-puisi Haiku karya penyair Jepang dari Zaman Edo, Matsuo Bashō (松尾 芭蕉) (1644–1694).[263] Dalam sastra modern, novel-novel yang diilhami oleh laut telah ditulis oleh Joseph Conrad (yang didasarkan pada pengalamannya sendiri di laut),[264] Herman Wouk,[265] dan Herman Melville.[266] Dalam karya-karya psikiater Carl Jung, laut melambangkan ketidaksadaran kolektif dan pribadi di dalam penafsiran mimpi, sementara kedalaman laut merupakan simbol kedalaman budi tak-sadar.[267] Walaupun asal mula kehidupan di Bumi masih diperdebatkan,[268] ilmuwan dan penulis Rachel Carson di dalam buku The Sea Around Us yang ditulis pada tahun 1951 menulis bahwa, "Memang aneh bahwa laut, yang merupakan tempat asal manusia, kini terancam oleh aktivitas-aktivitas salah satu jenis kehidupan itu. Namun laut, walaupun berubah dengan cara yang beralamat buruk, akan tetap ada: ancaman itu adalah ancaman terhadap kehidupan itu sendiri".[269]

  1. ^ Catatan: ini adalah sebuah definisi umum yang secara konseptual ada pada sumber-sumber dari teknis, bahan ajar, hingga kamus (kamus menjadi standar penggunaan oleh orang pada umumnya). Baca lebih lanjut pada isi utama artikel dan catatan kaki lainnya mengenai arti lengkap dari istilah ini.
  2. ^ Satu definisi menyatakan bahwa laut adalah bagian dari samudra, meskipun sekarang Organisasi Hidrografi Internasional mendefinisikan batas-batas samudra dunia dengan menggunakan perairan yang tidak termasuk wilayah laut[5] sehingga pada dasarnya definisi ditentukan hanya dari kebiasaan tanpa mematok ketentuan khusus.[11] Definisi yang digunakan dalam bahan ajar, dengan mempertimbangkan antara pengertian teknis dan sehari-hari, umumnya menyatakan bahwa "laut" adalah istilah untuk perairan asin yang "terkunci daratan", dengan pengecualian kemudian harus dibuat untuk laut yang dibatasi oleh arus samudra seperti Laut Sargasso.[2][3] Definisi ketiga menyatakan bahwa laut harus memiliki bagian dasar yang terbentuk dari kerak samudra. Definisi ini dapat meliputi Laut Kaspia yang sebagiannya merupakan samudra pada zaman dahulu.[12]
  3. ^ Konvensi UNCLOS tidak mencakup Laut Kaspia yang sebagai gantinya disebut "danau internasional" dalam ranah hukum.[14]
  4. ^ Penelitian terhadap mineral ringwoodit hidrat yang timbul dari letusan gunung berapi menunjukkan bahwa zona transisi antara mantel Bumi bagian bawah dan atas mengandung air yang jumlahnya setara[19] hingga tiga kali lipat[20] dari seluruh air di samudra di permukaan. Eksperimen yang mereka ulang kondisi mantel Bumi bawah juga menunjukkan bahwa masih banyak air yang dapat ditemukan yang jumlahnya dapat mencapai lima kali lipat dari yang terdapat di samudra-samudra dunia.[21]
  5. ^ Sebagai gambaran untuk mengetahui seberapa besar perubahan ini, jika pH plasma darah manusia meningkat dari kadar normal sebesar 7,4 menjadi di atas 7,8, atau turun hingga di bawah 6,8, kematian akan terjadi.[90]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Indonesia) Arti kata segara dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. ^ a b National Geographic (2011-09-27). "Sea". National Geographic. Diakses tanggal 2017-01-07. 
  3. ^ a b Karleskint, G. (2009). Introduction to Marine Biology. Boston: Cengage Learning. hlm. 47. ISBN 9780495561972. Diakses tanggal 2017-01-07. 
  4. ^ Bishop, T.; et al. "Then and Now: The HMS Challenger Expedition and the 'Mountains in the Sea' Expedition". Ocean Explorer. National Oceanic and Atmospheric Administration. Diakses tanggal 2018-09-04. 
  5. ^ a b Organisasi Hidrografi Internasional (1953). Limits of Oceans and Seas (Special Publication №28) (PDF) (edisi ke-ke-3). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-10-08. Diakses tanggal 2010-02-07. 
  6. ^ Oxford English Dictionary, 1st ed. "sea, n." Oxford University Press 1911.
  7. ^ a b c Reddy, M. P. M. (2001). Descriptive Physical Oceanography. Leiden: A.A. Balkema. hlm. 112. ISBN 90-5410-706-5. 
  8. ^ "Sea". Merriam-webster.com. Diakses tanggal 13 Maret 2013. 
  9. ^ NOS Staff (2014-03-25). "What's the Difference between an Ocean and a Sea?". Ocean Facts. National Ocean Service (NOS), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Diakses tanggal 2017-01-07 – via OceanService.NOAA.gov. 
  10. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa Stow, Dorrik A.V. (2004). Encyclopedia of the Oceans. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0198606877. Diakses tanggal 2017-01-07. 
  11. ^ American Society of Civil Engineers (1994). The Glossary of the Mapping Sciences. ASCE Publication. hlm. 365. ISBN 0-7844-7570-9. 
  12. ^ Conforti, B. (2005). The Italian Yearbook of International Law Vol. 14. Martinus Nijhoff. hlm. 237. ISBN 978-90-04-15027-0. 
  13. ^ Vukas, B. (2004). The Law of the Sea: Selected Writings. Martinus Nijhoff. hlm. 271. ISBN 978-90-04-13863-6. 
  14. ^ Gokay, B. (2001). The Politics of Caspian Oil. Palgrave Macmillan. hlm. 74. ISBN 978-0-333-73973-0. 
  15. ^ Ravilious, K. (2009-04-21). "Most Earthlike Planet Yet Found May Have Liquid Oceans". National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-12. 
  16. ^ National Aeronautics and Space Administration. "NASA Visible Earth: The Blue Marble". National Aeronautics and Space Administration. Diakses tanggal 2018-09-11. 
  17. ^ a b United States Geological Survey (2016-12-02). "How much water is there on Earth, from the USGS Water Science School". Diakses tanggal 2018-09-11. 
  18. ^ Frederick, John E. (2008). Principles of Atmospheric Science. Jones and Bartlett. hlm. 80. 
  19. ^ Oskin, B. (2014-03-12). "Rare Diamond Confirms that Earth's Mantle Holds an Ocean's Worth of Water". Scientific American. Diakses tanggal 2018-09-11. 
  20. ^ Schmandt, B.; Jacobsen, S. D.; Becker, T. W.; Liu, Z.; Dueker, K. G. (2014). "Dehydration melting at the top of the lower mantle". Science. 344 (6189): 1265–68. Bibcode:2014Sci...344.1265S. doi:10.1126/science.1253358. 
  21. ^ Murakami, M. (2002). "Water in Earth's Lower Mantle". Science. 295 (5561): 1885–87. Bibcode:2002Sci...295.1885M. doi:10.1126/science.1065998. 
  22. ^ b., R. N. R.; Russell, F. S.; Yonge, C. M. (1929). "The Seas: Our Knowledge of Life in the Sea and How It is Gained". The Geographical Journal. 73 (6): 571. doi:10.2307/1785367. JSTOR 1785367. 
  23. ^ Stewart, R. H. (2008). "Introduction To Physical Oceanography" (PDF). Texas A & M University. hlm. 2–3. 
  24. ^ a b Monkhouse, F.J. (1975). Principles of Physical Geography. Hodder & Stoughton. hlm. 327–328. ISBN 978-0-340-04944-0. 
  25. ^ a b Millero, F. J.; Feistel, R.; Wright, D. G.; McDougall, T. J. (2008). "The composition of Standard Seawater and the definition of the Reference-Composition Salinity Scale". Deep-Sea Research Part I: Oceanographic Research Papers. 55: 50–72. Bibcode:2008DSRI...55...50M. doi:10.1016/j.dsr.2007.10.001. 
  26. ^ Cowen, R. (5 Oktober 2011). "Comets take pole position as water bearers". Nature. Diakses tanggal 10 September 2013. 
  27. ^ Pond, S. (1978). Introductory Dynamic Oceanography. Pergamon Pres. hlm. 5. ISBN 0750624965. 
  28. ^ "Ocean salinity". Science Learning Hub (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-07-02. 
  29. ^ Anati, D. A. (1999). "The salinity of hypersaline brines: Concepts and misconceptions". International Journal of Salt Lake Research. 8: 55. doi:10.1023/A:1009059827435. Diakses tanggal 3 Februari 2016. 
  30. ^ Swenson, H. "Why is the Ocean Salty?". US Geological Survey. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2001-04-18. 
  31. ^ "Drinking Seawater Can Be Deadly to Humans". NOAA. 2013-01-11. Diakses tanggal 2013-09-16. 
  32. ^ a b Talley, L. D. (2002). "Salinity Patterns in the Ocean". Dalam MacCracken, M. C.; Perry, J. S. Encyclopedia of Global Environmental Change, Volume 1, The Earth System: Physical and Chemical Dimensions of Global Environmental Change. John Wiley & Sons. hlm. 629–630. ISBN 0-471-97796-9. 
  33. ^ Feistel, R.; et al. (2010). "Density and Absolute Salinity of the Baltic Sea 2006–2009". Ocean Science. 6: 3-24. 
  34. ^ Talley, Lynne D (2011). Descriptive Physical Oceanography: An Introduction (edisi ke-6). Elsevier. hlm. 381. ISBN 978-0-7506-4552-2. 
  35. ^ Gordon, A. (2004). "Ocean Circulation". The Climate System. Columbia University. 
  36. ^ "Sea Water, Freezing of". Water Encyclopedia. Diakses tanggal 12 Oktober 2013. 
  37. ^ Jeffries, Martin O. (2012). "Sea ice". Encyclopedia Britannica. Britannica Online Encyclopedia. Diakses tanggal 21 April 2013. 
  38. ^ a b Russell, F.S. (1928) The Seas. hlm. 225–27. Frederick Warne.
  39. ^ Swedish Meteorological and Hydrological Institute (2010). "Oxygen in the Sea".
  40. ^ Shaffer, G. .; Olsen, S. M.; Pedersen, J. O. P. (2009). "Long-term ocean oxygen depletion in response to carbon dioxide emissions from fossil fuels". Nature Geoscience. 2 (2): 105–09. Bibcode:2009NatGe...2..105S. doi:10.1038/ngeo420. 
  41. ^ Ahrens, C. Donald; Jackson, Peter Lawrence; Jackson, Christine E. J.; Jackson, Christine E. O. (2012). Meteorology Today: An Introduction to Weather, Climate, and the Environment. Cengage Learning. hlm. 283. ISBN 0-17-650039-1. 
  42. ^ a b c d "Ocean Currents". Ocean Explorer. National Oceanic and Atmospheric Administration. 
  43. ^ Pope, Vicky (2 Februari 2007). "Models 'key to climate forecasts'". BBC. 
  44. ^ Cushman-Roisin, Benoit; Beckers, Jean-Marie (2011). Introduction to Geophysical Fluid Dynamics: Physical and Numerical Aspects. Academic Press. ISBN 978-0-12-088759-0. 
  45. ^ Wunsch, C. (2002). "What Is the Thermohaline Circulation?". Science. 298 (5596): 1179–81. doi:10.1126/science.1079329. PMID 12424356. 
  46. ^ "Long-shore currents". Orange County Lifeguards. 2007. 
  47. ^ "Rip current characteristics". Rip currents. University of Delaware Sea Grant College Program. 
  48. ^ a b c "Tides and Water Levels". NOAA Oceans and Coasts. NOAA Ocean Service Education. Diakses tanggal 20 April 2013. 
  49. ^ "Tidal amplitudes". University of Guelph. Diakses tanggal 12 September 2013. 
  50. ^ a b "Tides". Ocean Explorer. National Oceanic and Atmospheric Administration. 
  51. ^ Untuk penjelasannya, lihat Eginitis, D. (1929). "The problem of the tide of Euripus". Astronomische Nachrichten. 236 (19–20): 321–28. Bibcode:1929AN....236..321E. doi:10.1002/asna.19292361904.  Lihat pula komentar tentang penjelasan ini dalam Lagrange, E. (1930). "Les marées de l'Euripe". Ciel et Terre (Bulletin of the Société Belge d'Astronomie) (dalam bahasa French). 46: 66–69. Bibcode:1930C&T....46...66L. 
  52. ^ Cline, Isaac M. (4 Februari 2004). "Galveston Storm of 1900". National Oceanic and Atmospheric Administration. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-22. Diakses tanggal 21 April 2013. 
  53. ^ a b c "Ocean waves". Ocean Explorer. National Oceanic and Atmospheric Administration. Diakses tanggal 17 April 2013. 
  54. ^ Young, I. R. (1999). Wind Generated Ocean Waves. Elsevier. hlm. 83. ISBN 0-08-043317-0. 
  55. ^ a b Garrison, Tom (2012). Essentials of Oceanography. Edisi ke-6. hlm. 204 ff. Brooks/Cole, Belmont. ISBN 0321814053.
  56. ^ National Meteorological Library and Archive (2010). "Fact Sheet 6—The Beaufort Scale". Met Office (Devon)
  57. ^ Holliday, N. P.; Yelland, M. J.; Pascal, R.; Swail, V. R.; Taylor, P. K.; Griffiths, C. R.; Kent, E. (2006). "Were extreme waves in the Rockall Trough the largest ever recorded?". Geophysical Research Letters. 33 (5): L05613. Bibcode:2006GeoRL..33.5613H. doi:10.1029/2005GL025238. 
  58. ^ Laird, Anne (2006). "Observed Statistics of Extreme Waves" Diarsipkan 2013-04-08 di Wayback Machine.. Naval Postgraduate School (Monterey).
  59. ^ a b c "Physics of Tsunamis". National Tsunami Warning Center of the USA. Diakses tanggal 14 Oktober 2018. 
  60. ^ a b c d "Life of a Tsunami". Tsunamis & Earthquakes. US Geological Survey. 
  61. ^ a b "The Physics of Tsunamis". Earth and Space Sciences. University of Washington. 
  62. ^ Our Amazing Planet staff (12 Maret 2012). "Deep Ocean Floor Can Focus Tsunami Waves". Livescience. Diakses tanggal 4 Oktober 2013. 
  63. ^ Berry, M. V. (2007). "Focused tsunami waves". Proceedings of the Royal Society: A. 463. doi:10.1098/rspa.2007.0051. 
  64. ^ Bureau of Meteorology of the Australian Government. "Tsunami Facts and Information".
  65. ^ a b c Monkhouse, F. J. (1975). Principles of Physical Geography. Hodder & Stoughton. hlm. 280–91. ISBN 978-0-340-04944-0. 
  66. ^ Whittow, John B. (1984). The Penguin Dictionary of Physical Geography. Penguin Books. hlm. 29, 80, 246. ISBN 978-0-14-051094-2. 
  67. ^ "Thames Barrier engineer says second defence needed". BBC News. 5 Januari 2013. 
  68. ^ Plant, G.W.; Covil, C.S; Hughes, R.A. (1998). Site Preparation for the New Hong Kong International Airport. Thomas Telford. hlm. 1–4, 43. ISBN 978-0-7277-2696-4. 
  69. ^ Pidwirny, Michael (28 Maret 2013). "Structure of the Earth". The Encyclopedia of Earth. 
  70. ^ Pidwirny, Michael (28 Maret 2013). "Plate tectonics". The Encyclopedia of Earth. 
  71. ^ "Plate Tectonics: The Mechanism". University of California Museum of Paleontology. 
  72. ^ "Scientists map Mariana Trench, deepest known section of ocean in the world". The Telegraph. 7 Desember 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-11-10. Diakses tanggal 2018-05-01. 
  73. ^ "Peru-Chile Trench". Encyclopædia Britannica online. 
  74. ^ Muller, R. D.; et al. (2008). "Long-Term Sea-Level Fluctuations Driven by Ocean Basin Dynamics". Science. 319 (5868): 1357–62. Bibcode:2008Sci...319.1357M. doi:10.1126/science.1151540. PMID 18323446. 
  75. ^ Douglas, B. C. (1997). "Global sea rise: a redetermination". Surveys in Geophysics. 18 (2/3): 279–92. Bibcode:1997SGeo...18..279D. doi:10.1023/A:1006544227856. 
  76. ^ Bindoff, N. L.; et al. (2007). Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level. Cambridge University Press. hlm. 385–428. ISBN 978-0-521-88009-1. 
  77. ^ Meehl, G. A.; Washington, W. M.; Collins, W. D.; Arblaster, J. M.; Hu, A.; Buja, L. E.; Strand, W. G.; Teng, H. (2005). "How Much More Global Warming and Sea Level Rise?" (Full free text). Science. 307 (5716): 1769–72. Bibcode:2005Sci...307.1769M. doi:10.1126/science.1106663. PMID 15774757. 
  78. ^ "The Water Cycle: The Oceans". US Geological Survey. 
  79. ^ Vesilind, P. J. (2003). "The Driest Place on Earth". National Geographic. Archived from the original on 2011-07-06. Diakses tanggal 2018-10-09. 
  80. ^ "Endorheic Lakes: Waterbodies That Don't Flow to the Sea". The Watershed: Water from the Mountains into the Sea. United Nations Environment Programme. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2018-05-02. 
  81. ^ a b Falkowski, P.; Scholes, R. J.; Boyle, E.; Canadell, J.; Canfield, D.; Elser, J.; Gruber, N.; Hibbard, K.; Högberg, P.; Linder, S.; MacKenzie, F. T.; Moore b, 3.; Pedersen, T.; Rosenthal, Y.; Seitzinger, S.; Smetacek, V.; Steffen, W. (2000). "The Global Carbon Cycle: A Test of Our Knowledge of Earth as a System". Science. 290 (5490): 291–96. Bibcode:2000Sci...290..291F. doi:10.1126/science.290.5490.291. PMID 11030643. 
  82. ^ Sarmiento, J. L.; Gruber, N. (2006). Ocean Biogeochemical Dynamics. Princeton University Press. 
  83. ^ a b Prentice, I. C. (2001). Houghton, J. T., ed. "The carbon cycle and atmospheric carbon dioxide". Climate change 2001: the scientific basis: contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergouvernmental Panel on Climate Change. 
  84. ^ McSween, Harry Y.; McAfee, Steven (2003). Geochemistry: Pathways and Processes. Columbia University Press. hlm. 143. 
  85. ^ a b "Ocean Acidification". National Geographic. 27 April 2017. Diakses tanggal 9 Oktober 2018. 
  86. ^ Feely, R. A.; Sabine, C. L.; Lee, K; Berelson, W; Kleypas, J; Fabry, V. J.; Millero, F. J. (2004). "Impact of Anthropogenic CO2 on the CaCO3 System in the Oceans". Science. 305 (5682): 362–66. Bibcode:2004Sci...305..362F. doi:10.1126/science.1097329. PMID 15256664. 
  87. ^ Zeebe, R. E.; Zachos, J. C.; Caldeira, K.; Tyrrell, T. (2008). "OCEANS: Carbon Emissions and Acidification". Science. 321 (5885): 51–52. doi:10.1126/science.1159124. PMID 18599765. 
  88. ^ Gattuso, J.-P.; Hansson, L. (2011). Ocean Acidification. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-959109-1. OCLC 730413873. 
  89. ^ a b "Ocean acidification". Department of Sustainability, Environment, Water, Population & Communities: Australian Antarctic Division. 28 September 2007. 
  90. ^ Tanner, G. A. (2012). "Acid-Base Homeostasis". Dalam Rhoades, R. A.; Bell, D. R. Medical Physiology: Principles for Clinical Medicine. Lippincott Williams & Wilkins. ISBN 978-1-60913-427-3. 
  91. ^ Pinet, Paul R. (1996). Invitation to Oceanography. West Publishing Company. hlm. 126, 134–35. ISBN 978-0-314-06339-7. 
  92. ^ "What is Ocean Acidification?". NOAA PMEL Carbon Program. 
  93. ^ Orr, J. C.; Fabry, V. J.; Aumont, O.; Bopp, L.; Doney, S. C.; Feely, R. A.; Gnanadesikan, A.; Gruber, N.; Ishida, A.; Joos, F.; Key, R. M.; Lindsay, K.; Maier-Reimer, E.; Matear, R.; Monfray, P.; Mouchet, A.; Najjar, R. G.; Plattner, G. K.; Rodgers, K. B.; Sabine, C. L.; Sarmiento, J. L.; Schlitzer, R.; Slater, R. D.; Totterdell, I. J.; Weirig, M. F.; Yamanaka, Y.; Yool, A. (2005). "Anthropogenic ocean acidification over the twenty-first century and its impact on calcifying organisms". Nature. 437 (7059): 681–86. Bibcode:2005Natur.437..681O. doi:10.1038/nature04095. PMID 16193043. 
  94. ^ Cohen, A.; Holcomb, M. (2009). "Why Corals Care About Ocean Acidification: Uncovering the Mechanism". Oceanography. 22 (4): 118–27. doi:10.5670/oceanog.2009.102. 
  95. ^ Honisch, B.; Ridgwell, A.; Schmidt, D. N.; Thomas, E.; Gibbs, S. J.; Sluijs, A.; Zeebe, R.; Kump, L.; Martindale, R. C.; Greene, S. E.; Kiessling, W.; Ries, J.; Zachos, J. C.; Royer, D. L.; Barker, S.; Marchitto Jr, T. M.; Moyer, R.; Pelejero, C.; Ziveri, P.; Foster, G. L.; Williams, B. (2012). "The Geological Record of Ocean Acidification". Science. 335 (6072): 1058–63. Bibcode:2012Sci...335.1058H. doi:10.1126/science.1208277. PMID 22383840. 
  96. ^ Gruber, N. (2011). "Warming up, turning sour, losing breath: Ocean biogeochemistry under global change". Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences. 369 (1943): 1980–96. Bibcode:2011RSPTA.369.1980G. doi:10.1098/rsta.2011.0003. 
  97. ^ "Profile". Department of Natural Environmental Studies: University of Tokyo. 
  98. ^ Levinton, Jeffrey S. (2010). "18. Fisheries and Food from the Sea". Marine Biology: International Edition: Function, Biodiversity, Ecology. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-976661-1. 
  99. ^ a b Illustrated Encyclopedia of the Ocean. Dorling Kindersley. 2011. ISBN 978-1-4053-3308-5. 
  100. ^ Spalding, M. D.; Grenfell, A. M. (1997). "New estimates of global and regional coral reef areas". Coral Reefs. 16 (4): 225–30. doi:10.1007/s003380050078. 
  101. ^ Neulinger, Sven (2008–2009). "Cold-water reefs". CoralScience.org. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-22. Diakses tanggal 2018-05-04. 
  102. ^ Roach, John (7 Juni 2004). "Source of Half Earth's Oxygen Gets Little Credit". National Geographic News. Diakses tanggal 4 April 2016. 
  103. ^ New evidence for enhanced ocean primary production triggered by tropical cyclone I. Lin, W. Timothy Liu, Chun-Chieh Wu, George T. F. Wong, Zhiqiang Che, Wen-Der Liang, Yih Yang and Kon-Kee Liu. Geophysical Research Letters Volume 30, Issue 13, Juli 2003. DOI:10.1029/2003GL017141
  104. ^ Yool, A.; Tyrrell, T. (2003). "Role of diatoms in regulating the ocean's silicon cycle". Global Biogeochemical Cycles. 17 (4): n/a. Bibcode:2003GBioC..17.1103Y. doi:10.1029/2002GB002018. 
  105. ^ Van Der Heide, T.; Van Nes, E. H.; Van Katwijk, M. M.; Olff, H.; Smolders, A. J. P. (2011). "Positive Feedbacks in Seagrass Ecosystems – Evidence from Large-Scale Empirical Data". PLoS ONE. 6 (1): e16504. Bibcode:2011PLoSO...616504V. doi:10.1371/journal.pone.0016504. PMC 3025983alt=Dapat diakses gratis. PMID 21283684. 
  106. ^ "Mangal (Mangrove)". Mildred E. Mathias Botanical Garden. 
  107. ^ "Coastal Salt Marsh". Mildred E. Mathias Botanical Garden. 
  108. ^ "Facts and figures on marine biodiversity". Marine biodiversity. UNESCO. 2012. 
  109. ^ Voss, M.; Bange, H. W.; Dippner, J. W.; Middelburg, J. J.; Montoya, J. P.; Ward, B. (2013). "The marine nitrogen cycle: Recent discoveries, uncertainties and the potential relevance of climate change". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 368 (1621): 20130121. doi:10.1098/rstb.2013.0121. PMC 3682741alt=Dapat diakses gratis. PMID 23713119. 
  110. ^ a b Thorne-Miller, Boyce (1999). The Living Ocean: Understanding and Protecting Marine Biodiversity. Island Press. hlm. 2. ISBN 978-1-59726-897-4. 
  111. ^ Thorne-Miller, Boyce (1999). The Living Ocean: Understanding and Protecting Marine Biodiversity. Island Press. hlm. 88. ISBN 978-1-59726-897-4. 
  112. ^ Kingsford, Michael John. "Marine ecosystem: Plankton". Encyclopædia Britannica online Encyclopedia. 
  113. ^ Walrond, Carl. "Oceanic Fish". The Encyclopedia of New Zealand. New Zealand Government. 
  114. ^ Steele, John H.; Thorpe, Steve A.; Turekian, Karl K., ed. (2010). Marine Ecological Processes: A Derivative of the Encyclopedia of Ocean Sciences. Academic Press. hlm. 316. ISBN 978-0-12-375724-1. 
  115. ^ "Invasive species". Water: Habitat Protection. Environmental Protection Agency. 6 Maret 2012. 
  116. ^ Sedberry, G. R.; Musick, J. A. (1978). "Feeding strategies of some demersal fishes of the continental slope and rise off the Mid-Atlantic Coast of the USA". Marine Biology. 44 (4): 357–75. doi:10.1007/BF00390900. 
  117. ^ Committee on Biological Diversity in Marine Systems, National Research Council (1995). "Waiting for a whale: human hunting and deep-sea biodiversity". Understanding Marine Biodiversity. National Academies Press. ISBN 978-0-309-17641-5. 
  118. ^ Hage, P.; Marck, J. (2003). "Matrilineality and the Melanesian Origin of Polynesian Y Chromosomes". Current Anthropology. 44: S121. doi:10.1086/379272. 
  119. ^ Bellwood, Peter (1987). The Polynesians – Prehistory of an Island People. Thames and Hudson. hlm. 45–65. ISBN 0500274509. 
  120. ^ Clark, Liesl (15 Februari 2000). "Polynesia's Genius Navigators". NOVA. 
  121. ^ Kayser, M.; Brauer, S; Cordaux, R; Casto, A; Lao, O; Zhivotovsky, L. A.; Moyse-Faurie, C; Rutledge, R. B.; Schiefenhoevel, W; Gil, D; Lin, A. A.; Underhill, P. A.; Oefner, P. J.; Trent, R. J.; Stoneking, M (2006). "Melanesian and Asian Origins of Polynesians: MtDNA and Y Chromosome Gradients Across the Pacific" (PDF). Molecular Biology and Evolution. 23 (11): 2234–44. doi:10.1093/molbev/msl093. PMID 16923821. 
  122. ^ "The Ancient World – Egypt". Mariners' Museum. 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-07-23. Diakses tanggal 5 Maret 2012. 
  123. ^ Greer, Thomas H.; Lewis, Gavin (2004). A Brief History Of The Western World. Thomson Wadsworth. hlm. 63. ISBN 978-0-534-64236-5. 
  124. ^ Harden, Donald (1962). The Phoenicians, p. 168. Penguin (Harmondsworth).
  125. ^ Warmington, Brian H. (1960) Carthage, hlm. 79. Penguin (Harmondsworth).
  126. ^ "Зацепились за Моржовец" (dalam bahasa Russian). Русское географическое общество. 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-21. Diakses tanggal 5 Maret 2012. 
  127. ^ Tibbets, Gerald Randall (1979). A Comparison of Medieval Arab Methods of Navigation with Those of the Pacific Islands. Coimbra. 
  128. ^ a b "A History of Navigation". History. BBC. Diakses tanggal 13 September 2013. 
  129. ^ Jenkins, Simon (1992). "Four Cheers for Geography". Geography. 77 (3): 193–197. JSTOR 40572190. 
  130. ^ "International Hydrographic Organization". 15 Maret 2013. Diakses tanggal 14 September 2013. 
  131. ^ Weyl, Peter K. (1970). Oceanography: an introduction to the marine environment. John Wiley & Sons. hlm. 49. ISBN 978-0-471-93744-9. 
  132. ^ "Underwater Exploration - History, Oceanography, Instrumentation, Diving Tools and Techniques, Deep-sea Submersible Vessels, Key Findings in Underwater Exploration, Deep-sea pioneers". Science Encyclopedia. Net Industries. Diakses tanggal 15 September 2013. 
  133. ^ "Jacques Piccard: Oceanographer and pioneer of deep-sea exploration". The Independent. 5 November 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-02-25. Diakses tanggal 15 September 2013. 
  134. ^ James Cameron. "The expedition". Deepsea Challenge. National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-14. Diakses tanggal 15 September 2013. 
  135. ^ Logico, Mark G. (8 April 2006). "Navy Chief Submerges 2,000 Feet, Sets Record". America's Navy. United States Navy. Diakses tanggal 12 September 2013. 
  136. ^ "The Marvelous Mirs". Ocean Explorer. National Oceanic and Atmospheric Administration. Diakses tanggal 5 Juli 2013. 
  137. ^ "Marine and Coastal: Bathymetry". Geoscience Australia. Diakses tanggal 25 September 2013. 
  138. ^ "Research topics". Scripps Institution of Oceanography. Diakses tanggal 16 September 2013. 
  139. ^ "Research". The South African Association for Marine Biological Research. 2013. Diakses tanggal 20 September 2013. 
  140. ^ "Research at Sea". National Oceanography Centre. 2013. Diakses tanggal 20 September 2013. 
  141. ^ Public Record Office (1860). Calendar of state papers, domestic series, of the reign of Charles II: preserved in the state paper department of Her Majesty's Public Record Office, Volume 1. Longman, Green, Longman & Roberts. 
  142. ^ Newman, Jeff. "The Blue Riband of the North Atlantic". Great Ships. Diakses tanggal 11 September 2013. 
  143. ^ Smith, Jack (1985). "Hales Trophy, won in 1952 by SS United States remains at King's Point as Challenger succumbs to the sea". Yachting (November): 121. 
  144. ^ Norris, Gregory J. (1981). "Evolution of cruising". Cruise Travel (Desember): 28. [pranala nonaktif permanen]
  145. ^ "No evidence to support Foreign Minister Bob Carr's economic migrants claims". ABC News. 15 Agustus 2013. Diakses tanggal 21 Agustus 2013. 
  146. ^ "The voice of the recreational marine industry worldwide". International Council of Marine Industry Associations. 2013. 
  147. ^ "Yachting". YachtingMagazine.com. 
  148. ^ Aas, Øystein, ed. (2008). Global Challenges in Recreational Fisheries. John Wiley and Sons. hlm. 5. ISBN 0-470-69814-4. 
  149. ^ Dowling, Ross Kingston, ed. (2006). Cruise Ship Tourism. CABI. hlm. 3. ISBN 1-84593-049-5. 
  150. ^ Cater, Carl; Cater, Erlet (2007). Marine Ecotourism: Between the Devil and the Deep Blue Sea. CABI. hlm. 8. ISBN 1-84593-260-9. 
  151. ^ "Health Benefits of Sea Bathing". MedClick. 
  152. ^ Nickel, C.; Zernial, O.; Musahl, V.; Hansen, U.; Zantop, T.; Petersen, W. (2004). "A Prospective Study of Kitesurfing Injuries". American Journal of Sports Medicine. 32 (4): 921–27. doi:10.1177/0363546503262162. PMID 15150038. 
  153. ^ "The disciplines of windsurfing". World of Windsurfing. 15 April 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-25. 
  154. ^ "Water skiing disciplines". ABC of Skiing. 
  155. ^ Catelle, W. R. (1907). "Methods of Fishing". The Pearl: Its Story, Its Charm, and Its Value. J. B. Lippincott. hlm. 171. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-22. Diakses tanggal 2018-05-07. 
  156. ^ a b US Navy Diving Manual, 6th revision (PDF). US Naval Sea Systems Command. 2006. Diakses tanggal 14 Oktober 2018. 
  157. ^ Shaw, Ian (2003). The Oxford History of Ancient Egypt. Oxford University Press. hlm. 426. ISBN 0-19-280458-8. 
  158. ^ Curtin, Philip D. (1984). Cross-Cultural Trade in World History. Cambridge University Press. hlm. 88–104. ISBN 978-0-521-26931-5. 
  159. ^ Halpern, B. S.; Walbridge, S.; Selkoe, K. A.; Kappel, C. V.; Micheli, F.; d'Agrosa, C.; Bruno, J. F.; Casey, K. S.; Ebert, C.; Fox, H. E.; Fujita, R.; Heinemann, D.; Lenihan, H. S.; Madin, E. M. P.; Perry, M. T.; Selig, E. R.; Spalding, M.; Steneck, R.; Watson, R. (2008). "A Global Map of Human Impact on Marine Ecosystems" (PDF). Science. 319 (5865): 948–52. Bibcode:2008Sci...319..948H. doi:10.1126/science.1149345. PMID 18276889. 
  160. ^ "Trade routes". World Shipping Council. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-22. Diakses tanggal 2018-05-06. 
  161. ^ Roach, John (17 September 2007). "Arctic Melt Opens Northwest Passage". National Geographic. 
  162. ^ "Global trade". World Shipping Council. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-22. Diakses tanggal 2018-05-06. 
  163. ^ Joint Chief of Staff (31 Agustus 2005). "Bulk cargo" (PDF). Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms. Washington DC: Department of Defense. hlm. 73. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-06-04. Diakses tanggal 2018-05-06. 
  164. ^ Reed Business Information (22 Mei 1958). "Fork lift trucks aboard". News and Comments. New Scientist. 4 (79): 10. 
  165. ^ a b Sauerbier, Charles L.; Meurn, Robert J. (2004). Marine Cargo Operations: a guide to stowage. Cambridge, Md: Cornell Maritime Press. hlm. 1–16. ISBN 0-87033-550-2. 
  166. ^ a b c d e f g h The State of World Fisheries and Aquaculture 2012 (PDF). FAO Fisheries and Aquaculture Department. 2012. ISBN 978-92-5-107225-7. Diakses tanggal 23 April 2013. 
  167. ^ "Fisheries: Latest data". GreenFacts. Diakses tanggal 23 April 2013. 
  168. ^ a b Evans, Michael (3 Juni 2011). "Fishing". The Earth Times. Diakses tanggal 23 April 2013. 
  169. ^ a b Myers, R. A.; Worm, B. (2003). "Rapid worldwide depletion of predatory fish communities". Nature. 423 (6937): 280–83. Bibcode:2003Natur.423..280M. doi:10.1038/nature01610. PMID 12748640. 
  170. ^ a b c d e Cabral, Reniel B.; et al. (April 2018). "Rapid and lasting gains from solving illegal fishing". Nature Ecology & Evolution. 2: 650–658. 
  171. ^ Soto, D. (ed.) (2009). Integrated mariculture. Fisheries and Aquaculture Technical Paper. No. 529. FAO. ISBN 978-92-5-106387-3. Diakses tanggal 25 April 2013. 
  172. ^ "About shrimp farming". Shrimp News International. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-02-01. Diakses tanggal 25 April 2013. 
  173. ^ "Sea cucumber ranching improves livelihoods". WorldFish. Diakses tanggal 25 April 2013. 
  174. ^ Anderson, Genny (15 Juni 2009). "Lobster mariculture". Marine Science. Diakses tanggal 25 April 2013. 
  175. ^ Winterman, Denise (30 Juli 2012). "Future foods: What will we be eating in 20 years' time?". BBC. Diakses tanggal 24 April 2013. 
  176. ^ "Samphire". BBC: Good Food. Diakses tanggal 24 April 2013. 
  177. ^ "An Overview of China's Aquaculture", hlm. 6. Netherlands Business Support Office (Dalian), 2010.
  178. ^ Black, K. D. (2001). "Mariculture, Environmental, Economic and Social Impacts of". Dalam Steele, John H.; Thorpe, Steve A.; Turekian, Karl K. Encyclopedia of Ocean Sciences. Academic Press. hlm. 1578–84. doi:10.1006/rwos.2001.0487. ISBN 9780122274305. 
  179. ^ Lihat Grotius, Hugo. Mare Liberum. 1609. (Latin)
  180. ^ Lihat Bynkershoek, Cornelius (1702). De dominio maris. (Latin)
  181. ^ a b c "The Three-Mile Limit as a Rule of International Law". Columbia Law Review. Columbia Law Review Association. 23 (5): 472–476. 1923. doi:10.2307/1112336. JSTOR 1112336. 
  182. ^ Truman, Harry (28 September 1945). Presidential Proclamation No. 2667: Policy of the United States with Respect to the Natural Resources of the Subsoil of the Sea Bed and the Continental Shelf. (Washington). Diambil dari situs National University of Singapore.
  183. ^ a b "The United Nations Convention on the Law of the Sea (A historical perspective)". Oceans & Law of the Sea. Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Hukum. (New York), 2012.
  184. ^ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982), §87(1).
  185. ^ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982), §76(1).
  186. ^ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982), §77(1).
  187. ^ D'Amato, Raphaelo; Salimbeti, Andrea (2011). Bronze Age Greek Warrior 1600–1100 BC. Oxford: Osprey Publishing Company. hlm. 24. ISBN 978-1-84908-195-5. 
  188. ^ Strauss, Barry (2004). The Battle of Salamis: The Naval Encounter That Saved Greece—and Western Civilization. Simon and Schuster. hlm. 26. ISBN 0-7432-4450-8. 
  189. ^ Fremont-Barnes, Gregory; Hook, Christa (2005). Trafalgar 1805: Nelson's Crowning Victory. Osprey Publishing. hlm. 1. ISBN 1-84176-892-8. 
  190. ^ Sterling, Christopher H. (2008). Military communications: from ancient times to the 21st century. ABC-CLIO. hlm. 459. ISBN 1-85109-732-5. The naval battle of Tsushima, the ultimate contest of the 1904–1905 Russo-Japanese War, was one of the most decisive sea battles in history. 
  191. ^ Gardiner, Robert, ed. (1992). The Eclipse of the Big Gun: The Warship, 1906–45. Conway's History of the Ship. London: Conway Maritime Press. hlm. 18. ISBN 0-85177-607-8. 
  192. ^ Campbell, John (1998). Jutland: An Analysis of the Fighting, hlm. 2. Lyons Press. ISBN 1-55821-759-2.
  193. ^ Simpson, Michael (2004). A life of Admiral of the Fleet Andrew Cunningham: A Twentieth-century Naval Leader. Routledge. hlm. 74. ISBN 978-0-7146-5197-2. 
  194. ^ Crocker III, H. W. (2006). Don't Tread on Me: A 400-Year History of America at War. Three Rivers Press (Crown Forum). hlm. 294–297, 322, 326–327. ISBN 978-1-4000-5364-3. 
  195. ^ Thomas, Evan (2007). Sea of Thunder. Simon and Schuster. hlm. 3–4. ISBN 0-7432-5222-5. 
  196. ^ Helgason, Guðmundur. "Finale". Uboat.net. Diakses tanggal 13 September 2013. 
  197. ^ Preston, Diana (2003). Wilful Murder: The Sinking of the Lusitania. Black Swan. hlm. 497–503. ISBN 978-0-552-99886-4. 
  198. ^ Crocker III, H. W. (2006). Don't Tread on Me. New York: Crown Forum. hlm. 310. ISBN 978-1-4000-5363-6. 
  199. ^ Bennett, William J (2007). America: The Last Best Hope, Volume 2: From a World at War to the Triumph of Freedom 1914–1989. Nelson Current. hlm. 301. ISBN 978-1-59555-057-6. 
  200. ^ "Q&A: Trident replacement". BBC News. 22 September 2010. Diakses tanggal 15 September 2013. 
  201. ^ "Submarines of the Cold War". California Center for Military History. Diakses tanggal 15 September 2013. 
  202. ^ Gosse, Philip (2012). The History of Piracy. Dover Publications. hlm. 1. 
  203. ^ Pennell, C. R. (2001). "The Geography of Piracy: Northern Morocco in the Mod-Nineteenth Century". Dalam Pennell, C. R. Bandits at Sea: A Pirates Reader. NYU Press. hlm. 56. ISBN 978-0-8147-6678-1. Sea raiders [...] were most active where the maritime environment gave them most opportunity. Narrow straits which funneled shipping into places where ambush was easy, and escape less chancy, called the pirates into certain areas. 
  204. ^ "Foreign Affairs – Terrorism Goes to Sea". Diarsipkan dari versi asli tanggal December 14, 2007. Diakses tanggal December 8, 2007. 
  205. ^ "Worrying rise in piracy attacks around Malacca Strait". Deutsche Welle. 11 Juli 2014. Diakses tanggal 11 Oktober 2018. .
  206. ^ "Piracy and armed robbery against ships". International Maritime Organization. Diakses tanggal 11 Oktober 2018. .
  207. ^ a b c d Cormier, Monique; Simpson, Gerry. "Piracy". Oxford Bibliographies. Diakses tanggal 11 Oktober 2018. 
  208. ^ Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (1982), §101.
  209. ^ Ovdak, Alla (2013). "Offshore Wind Energy in France".
  210. ^ a b "Ocean Energy". Ocean Energy Systems. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-05-05. 
  211. ^ Cruz, João (2008). Ocean Wave Energy – Current Status and Future Perspectives. Springer. hlm. 2. ISBN 3-540-74894-6. 
  212. ^ US Department of the Interior (Mei 2006). "Ocean Current Energy Potential on the U.S. Outer Continental Shelf" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-05-16. Diakses tanggal 2018-05-07. 
  213. ^ Ponta, F. L.; Jacovkis, P. M. (2008). "Marine-current power generation by diffuser-augmented floating hydro-turbines". Renewable Energy. 33 (4): 665–73. doi:10.1016/j.renene.2007.04.008. 
  214. ^ Lynn, Paul A. (2011). Onshore and Offshore Wind Energy: An Introduction. John Wiley & Sons. ISBN 978-1-119-96142-0. 
  215. ^ Environmental and Energy Study Institute (Oktober 2010). "Offshore Wind Energy" (PDF). 
  216. ^ Tillessen, Teena (2010). "High demand for wind farm installation vessels". Hansa International Maritime Journal. 147 (8): 170–71. 
  217. ^ "Cooling power plants". World Nuclear Association. 1 September 2013. Diakses tanggal 14 September 2013. 
  218. ^ Nurok, G. A.; Bubis, I. V. (1970–1979). "Mining, Undersea". The Great Soviet Encyclopedia, 3rd Edition. 
  219. ^ Kohl, Keith (2013). "Underwater Mining Companies". Wealth Daily. 
  220. ^ Miner, Meghan (1 Februari 2013). "Will Deep-sea Mining Yield an Underwater Gold Rush?". National Geographic. 
  221. ^ Lamb, Robert (2011). "How offshore drilling works". HowStuffWorks. 
  222. ^ Nixon, Robin (25 Juni 2008). "Oil Drilling: Risks and Rewards". LiveScience. 
  223. ^ Horton, Jennifer (2011). "Effects of offshore drilling: energy vs. environment". HowStuffWorks. 
  224. ^ Milkov, A. V. (2004). "Global estimates of hydrate-bound gas in marine sediments: How much is really out there?". Earth-Science Reviews. 66 (3–4): 183–97. Bibcode:2004ESRv...66..183M. doi:10.1016/j.earscirev.2003.11.002. 
  225. ^ Achurra, L.E.; Lacassie, J.P.; Le Roux, J.P.; Marquardt, C.; Belmar, M.; Ruiz-del-Solar, J.; Ishman, S.E. (2009). "Manganese nodules in the Miocene Bahía Inglesa Formation, north-central Chile: Petrography, geochemistry, genesis and palaeoceanographic significance". Sedimentary Geology. 217 (1–4): 128–39. Bibcode:2009SedG..217..128A. doi:10.1016/j.sedgeo.2009.03.016. 
  226. ^ "Diamonds". Geological Survey of Namibia. Ministry of Mines and Energy. 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-04-06. 
  227. ^ "Chemistry: Mining the Sea". Time. 15 Mei 1964. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-04-24. Diakses tanggal 2018-05-07. 
  228. ^ Al-Weshah, R. A. (2000). "The water balance of the Dead Sea: An integrated approach". Hydrological Processes. 14: 145–54. Bibcode:2000HyPr...14..145A. doi:10.1002/(SICI)1099-1085(200001)14:1<145::AID-HYP916>3.0.CO;2-N. 
  229. ^ Hamed, O. A. (2005). "Overview of hybrid desalination systems — current status and future prospects". Desalination. 186: 207–214. doi:10.1016/j.desal.2005.03.095. 
  230. ^ "Toxic Pollution". Ocean Briefing Book. SeaWeb. 
  231. ^ Ansari, T. M.; Marr, I. L.; Tariq, N. (2004). "Heavy Metals in Marine Pollution Perspective–A Mini Review" (PDF). Journal of Applied Sciences. 4: 1–20. Bibcode:2004JApSc...4....1.. doi:10.3923/jas.2004.1.20. 
  232. ^ Barnes, D. K. A.; Galgani, F.; Thompson, R. C.; Barlaz, M. (2009). "Accumulation and fragmentation of plastic debris in global environments". Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences. 364 (1526): 1985–98. doi:10.1098/rstb.2008.0205. PMC 2873009alt=Dapat diakses gratis. PMID 19528051. 
  233. ^ Karl, D. M. (1999). "Minireviews: A Sea of Change: Biogeochemical Variability in the North Pacific Subtropical Gyre" (PDF). Ecosystems. 2 (3): 181–214. doi:10.1007/s100219900068. JSTOR 3658829. 
  234. ^ Lovett, Richard A. (2 Maret 2010). "Huge Garbage Patch Found in Atlantic too". National Geographic. 
  235. ^ Moore, C. J. (2008). "Synthetic polymers in the marine environment: A rapidly increasing, long-term threat". Environmental Research. 108 (2): 131–39. Bibcode:2008ER....108..131M. doi:10.1016/j.envres.2008.07.025. PMID 18949831. 
  236. ^ a b "Marine problems: Pollution". World Wildlife Fund. 
  237. ^ "How Does the BP Oil Spill Impact Wildlife and Habitat?". National Wildlife Federation. 
  238. ^ American Chemical Society (9 April 2013). "Gulf of Mexico Has Greater-Than-Believed Ability to Self-Cleanse Oil Spills". Science Daily. 
  239. ^ Dell'Amore, Christine (12 April 2013). "New Diseases, Toxins Harming Marine Life". National Geographic Daily News. National Geographic. Diakses tanggal 23 April 2013. 
  240. ^ Jefferies, D. F.; Preston, A.; Steele, A. K. (1973). "Distribution of caesium-137 in British coastal waters". Marine Pollution Bulletin. 4 (8): 118–122. doi:10.1016/0025-326X(73)90185-9. 
  241. ^ Tsumunea, Daisuke; Tsubonoa, Takaki; Aoyamab, Michio; Hirosec, Katsumi (2012). "Distribution of oceanic 137–Cs from the Fukushima Dai-ichi Nuclear Power Plant simulated numerically by a regional ocean model". Journal of Environmental Radioactivity. 111: 100–108. doi:10.1016/j.jenvrad.2011.10.007. PMID 22071362. 
  242. ^ "London Convention and Protocol". International Maritime Organization. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-06. Diakses tanggal 2018-05-08. 
  243. ^ "International Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL 73/78)". International Maritime Organization. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-19. Diakses tanggal 2018-05-08. 
  244. ^ "Environmental, social and cultural settings of the Surin Islands". Sustainable Development in Coastal Regions and Small Islands. UNESCO. 
  245. ^ "Samal – Orientation". Countries and Their Cultures. 
  246. ^ Langenheim, Johnny (18 September 2010). "The last of the sea nomads". The Guardian. 
  247. ^ Ivanoff, Jacques (1 April 2005). "Sea Gypsies of Myanmar". National Geographic. 
  248. ^ Hovelsrud, G. K.; McKenna, M.; Huntington, H. P. (2008). "Marine Mammal Harvests and Other Interactions with Humans". Ecological Applications. 18 (2 Suppl): S135–47. doi:10.1890/06-0843.1. JSTOR 40062161. PMID 18494367. 
  249. ^ "Traditional Owners of the Great Barrier Reef". Great Barrier Reef Marine Park Authority. 
  250. ^ a b Westerdahl, C. (1994). "Maritime cultures and ship types: Brief comments on the significance of maritime archaeology". International Journal of Nautical Archaeology. 23 (4): 265–270. doi:10.1111/j.1095-9270.1994.tb00471.x. 
  251. ^ Ayub 41:1–34
  252. ^ Kerenyi, C. (1974). The Gods of the Greeks. Thames and Hudson. hlm. 37–40. ISBN 0-500-27048-1. 
  253. ^ Shunsen, Takehara (1841). Ehon Hyaku Monogatari (絵本百物語, "Picture Book of a Hundred Stories") (dalam bahasa Japanese). Kyoto: Ryûsuiken. 
  254. ^ Pontoppidan, Erich (1839). The Naturalist's Library, Volume 8: The Kraken. W. H. Lizars. hlm. 327–36. 
  255. ^ Slive, Seymour (1995). Dutch Painting, 1600–1800. Yale University Press. hlm. 213–216. ISBN 0-300-07451-4. 
  256. ^ Johnson, Ken (30 Juli 2009). "When Galleons Ruled the Waves". New York Times. Diakses tanggal 19 September 2013. 
  257. ^ Tymieniecka, Anna–Teresa, ed. (1985). Poetics of the Elements in the Human Condition: Part I – The Sea: From Elemental Stirrings to the Symbolic Inspiration, Language, and Life-Significance in Literary Interpretation and Theory. Springer. hlm. 4–8. ISBN 978-90-277-1906-5. 
  258. ^ Wagner, Richard (1843). "An Autobiographical Sketch". The Wagner Library. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-11. Diakses tanggal 2018-05-08. 
  259. ^ Potter, Caroline; Trezise, Simon, ed. (1994). "Debussy and Nature". The Cambridge Companion to Debussy. Cambridge Companions to Music. Cambridge University Press. hlm. 149. ISBN 0-521-65478-5. 
  260. ^ Schwartz, Elliot S. (1964). The Symphonies of Ralph Vaughan Williams. University of Massachusetts Press. ASIN B0007DESPS. 
  261. ^ Tymieniecka, Anna–Teresa, ed. (1985). Poetics of the Elements in the Human Condition: Part I – The Sea: From Elemental Stirrings to the Symbolic Inspiration, Language, and Life-Significance in Literary Interpretation and Theory. Springer. hlm. 45. ISBN 978-90-277-1906-5. 
  262. ^ Porter, John (8 Mei 2006). "Plot Outline for Homer's Odyssey". University of Saskatchewan. Diakses tanggal 10 September 2013. 
  263. ^ Basho, Matsuo. "A Selection of Matsuo Basho's Haiku". Greenleaf. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-05-18. Diakses tanggal 27 April 2013. 
  264. ^ Najder, Zdzisław (2007). Joseph Conrad: A Life. Camden House. hlm. 187. 
  265. ^ "The Caine Mutiny". Pulitzer Prize First Edition Guide. 2006. Diakses tanggal 25 Mei 2013. 
  266. ^ Van Doren, Carl (1921). "Chapter 3. Romances of Adventure. Section 2. Herman Melville". The American Novel. Bartleby.com. Diakses tanggal 21 Agustus 2013. 
  267. ^ Jung, Carl Gustav (1985). Dreams. Translated by Hull, R.F.C. Ark Paperbacks. hlm. 122, 192. ISBN 978-0-7448-0032-6. 
  268. ^ Lal, Ashwini Kumar (2008). "Origin of Life". Astrophysics and Space Science. 317 (3–4): 267–278. doi:10.1007/s10509-008-9876-6. 
  269. ^ Winchster, Simon (2010). Atlantic: A vast ocean of a million stories. London: Harper Press. hlm. 354–356. ISBN 978-0-00-736459-6. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]