Imanen
Imanen atau imanensi adalah paham yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subjektif.[1] Istilah imanensi berasal dari Bahasa Latin immanere yang berarti "tinggal di dalam".[1] Imanen adalah lawan kata dari transenden.[1] Pertama kali, istilah ini diajukan oleh Aristoteles yang memiliki arti "batin" dari suatu objek, fenomena atau gejala. Kemudian dikembangkan oleh Kant dan berlaku sampai sekarang.[1]
Dalam istilah Filsafat Ketuhanan, Tuhan yang imanen berarti Tuhan berada di dalam struktur alam semesta serta turut serta mengambil bagian dalam proses-proses kehidupan manusia.[1] Berbeda dengan transenden yang sangat mengagungkan Tuhan yang begitu jauh sehingga mereka sangat hormat.[1] Imanensi lebih dekat dan terbatas pada pengalaman manusia, seperti dikemukakan Hume dalam teori fenomenalisme empiris dan Kanti dalam Crtitique of Pure Reason.[1]
Dalam bidang aliran agama, imanensi sangat ditekankan oleh ajaran Panteisme untuk menentang transendensi.[1] Hal ini dimaksudkan agar manusia lebih akrab dengan Tuhan dalam kehidupannya.[1] Namun terdapat pandangan bahwa hal ini hanya akan membatasi Allah yang maha kuasa atas kehidupan manusia, Allah kehilangan unsur misterinya.[1]
Dalam Teologi Kristen, imanen dapat dilihat dalam ajaran Trinitas, yaitu Allah yang memiliki pribadi begitu nyata, Allah menjadi begitu dekat dengan umat-Nya.[2] Sifat Allah yang imanen terkadang akan membuat manusia hanya berpikir bahwa Allah dekat, hal ini kurang tepat, maka dibutuhkan sifat transenden juga. Allah yang transenden adalah Allah yang melampaui segala yang ada.[3] Allah yang tidak terbatas untuk memimpin dunia.[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j (Indonesia)Lorens Bagus., Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996
- ^ (Indonesia)Celia Deane-drumnond., Teologi Dan Ekologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
- ^ a b (Indonesia)Konferensi Waligereja Indonesia., Iman Katolik: buku informasi dan referensi, Yogyakarta: Kanisius, 2000