iBet uBet web content aggregator. Adding the entire web to your favor.
iBet uBet web content aggregator. Adding the entire web to your favor.



Link to original content: https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_usaha_milik_negara
Badan usaha milik negara - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Lompat ke isi

Badan usaha milik negara

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Badan usaha milik negara (disingkat BUMN), dahulu dikenal sebagai perusahaan negara (disingkat PN), adalah perusahaan yang dimiliki baik sepenuhnya, sebagian besar, maupun sebagian kecil oleh pemerintah dan pemerintah memberi kontrol terhadapnya.[1] Yang membedakan BUMN dengan badan lain milik pemerintah adalah status badan hukum, sifat operasional, aktivitas, dan tujuan operasinya. Meski BUMN berperan dalam melaksanakan kebijakan publik (misalnya perusahaan perkeretaapian milik negara bertujuan untuk mempermudah akses dan mobilitas masyarakat), BUMN harus dibedakan dari kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, nonstruktural, juga badan layanan umum karena memiliki status sifat layaknya swasta korporat atau yang berdiri independen sendiri untuk mencari keuntungan.[2]

BUMN di Indonesia

[sunting | sunting sumber]
Logo BUMN untuk Indonesia per 1 Juli 2020
Logo BUMN untuk Indonesia per 2015

Berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah: (Pasal 2)

  • memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
  • mengejar keuntungan;
  • menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
  • menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;
  • turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
[sunting | sunting sumber]

Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Penyertaan modal negara (PMN) dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: (Pasal 4 ayat 1-2)

Pemerintah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah untuk:

  • Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Pasal 4 ayat 3)
  • Setiap perubahan penyertaan modal negara, baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas (Pasal 4 ayat 4)

BUMN terdiri dari Persero dan Perum:

  • Perusahaan Perseroan (Persero), adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
  • Perusahaan Umum (Perum), adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Menteri BUMN adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan pemilik modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundangundangan.

Terminologi

[sunting | sunting sumber]

Pendapat mengenai terminologi BUMN menurut para ahli berbeda-beda, terutama dalam mendefinisikan istilah bahasa Inggris untuk BUMN, state-owned enterprise. Pertama, istilah state sering tidak jelas dan bahkan diperdebatkan, (semisal, kurang jelas apakah badan usaha milik daerah, BUMD, dianggap "milik negara"). Selain itu, tidak ada kejelasan apakah syarat pembentukan BUMN adalah "benar-benar milik negara" (state-owned) seutuhnya (perlu diketahui bahwa BUMN dapat sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh negara; bahkan sangat susah mengetahui seberapakah kepemilikan negara dalam perusahaan memenuhi syarat sebagai "milik negara" karena pemerintah dapat memiliki modal sendiri, tanpa mencampuri urusan perusahaan). Terakhir, istilah enterprise (badan usaha) sering dipertanyakan, karena secara umum enterprise adalah badan hukum perdata walaupun ada juga BUMN yang berbadan hukum publik, yang akibatnya istilah corporation (perusahaan) lebih sering digunakan.[3][4]

Dalam BUMN sendiri, anak perusahaannya dapat bersifat tertutup ataupun terbuka (dicatat dalam bursa efek), tetapi pemerintah memiliki perusahaan tersebut melalui perusahaan induk (membentuk holding BUMN). Terdapat dua definisi mengenai "anak perusahaan BUMN" bergantung kepemilikan pemerintah, yakni definisi pertama adalah pemerintah memiliki setidaknya lebih dari 50% saham pada anak perusahaannya, atau definisi kedua, berapa pun jumlah saham aktif yang ada di tangan pemerintah.

Suatu tindakan yang mengubah badan layanan umum milik pemerintah menjadi BUMN disebut korporatisasi.[5][6][7]

Alasan ekonomi

[sunting | sunting sumber]

BUMN sangat identik dengan monopoli, karena BUMN didirikan untuk memenuhi kepentingan umum. Akibatnya, BUMN dapat mengejar seluas-luasnya nilai ekonomi dari cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, BUMN banyak memonopoli infrastuktur dan penyelenggaraan distribusi dan transportasi (misalnya perusahaan kereta api), barang dan jasa strategis (misalnya jasa pos dan telekomunikasi, produsen senjata, dan pengadaan barang milik negara), sumber daya alam dan energi (misalnya minyak bumi, tambang, atau energi alternatif), bisnis yang secara politis bersifat sensitif, lembaga penyiaran, perbankan, barang yang membawa mudarat (misalnya minuman keras), dan barang bermanfaat (misalnya pelayanan kesehatan).

Industri berkembang

[sunting | sunting sumber]

BUMN dapat membantu industri berkembang yang dianggap "bermanfaat bagi ekonomi negara dan dianggap tidak sesuai bila dikelola oleh swasta".[8] Saat industri yang mulai berkembang mengalami kesulitan suntikan modal dari swasta (mungkin karena barang yang diproduksi membutuhkan investasi berisiko tinggi, sukar dipatenkan, atau terjadi spillover effect), pemerintah dapat membantu industri tersebut hadir di pasar dengan pengaruh ekonomis yang positif. Namun, pemerintah tidak dapat memperkirakan mana suatu sektor industri tersebut sebagai industri berkembang, sehingga peranan BUMN dalam menumbuhkan industri berkembang sering diperdebatkan.[9]

Alasan politik

[sunting | sunting sumber]

BUMN dapat didirikan untuk membantu program pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dari sini, BUMN bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan umum.[10] BUMN juga dapat dijadikan sebagai sarana meringankan tekanan fiskal suatu negara, mengingat BUMN tidak ikut dihitung dalam APBN.[5][6][7][10][11]

Terhadap birokrasi

[sunting | sunting sumber]

Dibandingkan dengan badan layanan umum, penyelenggaraan kegiatan usaha ekonomi oleh BUMN sangat bermanfaat karena peran politisi tidak digantungkan dalam menyelenggarakan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi.[12][13] Sebaliknya BUMN dapat merugikan karena pengawasannya relatif lemah seperti naiknya biaya transaksi (termasuk biaya pengawasan, yakni dibutuhkan biaya tinggi dan sukar untuk memimpin BUMN yang sudah otonom daripada di badan layanan umum). Ada bukti kecenderungan bahwa kegiatan BUMN dirasa lebih efisien daripada badan layanan umum, tetapi nilai manfaatnya berkurang saat pelayanannya menjadi cenderung bersifat teknis dan memiliki tujuan publik yang kurang terbuka.[4]

Terhadap badan usaha milik swasta

[sunting | sunting sumber]

Dibandingkan dengan badan usaha milik swasta, BUMN kurang efisien dalam menjalankan kegiatan usahanya karena ada campur tangan politik. Namun tidak seperti perusahaan yang digerakkan keuntungan, BUMN lebih berfokus pada tujuan publik.[13]

Perkembangan di seluruh dunia

[sunting | sunting sumber]

Di Eropa Barat dan Eropa Timur pernah ada nasionalisasi besar-besaran pada abad ke-20, khususnya setelah Perang Dunia II. Di Eropa Timur, pemerintahan berideologi komunis banyak memanfaatkan model-model ala Soviet. Pemerintah di Eropa Barat, baik golongan kanan maupun kiri, melihat campur tangan negara sangat diperlukan dalam membangun kembali perekonomian pascaperang.[14] Kontrol pemerintah atas monopoli industri sudah termaktub dalam aturan. Sektor-sektor tersebut adalah telekomunikasi, pembangkit listrik, bahan bakar fosil, kereta api, bandara, maskapai penerbangan, transportasi umum, bijih besi, pelayanan kesehatan, pos, dan kadang-kadang bank. Banyak perusahaan industri besar juga dinasionalisasi atau dibentuk sebagai perusahaan negara, sebagai contoh British Steel Corporation, Statoil, dan Irish Sugar. Mulai dekade 1970-an dan terus melesat pada 1980 dan 1990-an banyak perusahaan yang diswastanisasi, walau ada yang tetap menjadi milik pemerintah.

BUMN dapat bekerja berbeda dengan perseroan terbatas. Sebagai contoh, di Finlandia, BUMN (liikelaitos) dikendalikan oleh pelaku terpisah. Meski harus bertanggung jawab dengan keuangannya sendiri, mereka tidak dapat menyatakan bangkrut; negara dapat melunasi kewajibannya. Aktiva perusahaan tidak dapat dijual dan jika hendak dipinjam harus dengan persetujuan, mengingat aktiva tersebut merupakan kewajiban pemerintah.

Di banyak negara-negara anggota OPEC, pemerintah memiliki perusahaan minyak yang beroperasi di tanah-tanah miliknya. Misalnya perusahaan Saudi Aramco milik Arab Saudi, yang dibeli sahamnya oleh Pemerintah Arab Saudi pada tahun 1988, yang kemudian diganti namanya dari Arabian American Oil Company menjadi Saudi Arabian Oil Company. Pemerintah Arab Saudi juga memiliki maskapai penerbangan nasional, Saudi Arabian Airlines, dan memegang 70% saham SABIC serta sejumlah perusahaan lain. Namun, sebagian di antara perusahaan itu diprivatisasi satu persatu.[butuh rujukan]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "State-Owned Enterprises Catalysts for public value creation?" (PDF). PwC. Diakses tanggal 16 January 2018. 
  2. ^ Profiles of Existing Government Corporations, pp. 1–16
  3. ^ António F. Tavares and Pedro J. Camões (2007). "Local service delivery choices in Portugal: A political transaction costs network". Local Government Studies, 33(4): 535–553. 
  4. ^ a b Voorn, Bart, Marieke L. Van Genugten, and Sandra Van Thiel (2017). "The efficiency and effectiveness of municipally owned corporations: A systematic review". Local Government Studies, 43(5): 820–841. 
  5. ^ a b Grossi, Giuseppe, and Reichard, C. (2008). "Municipal corporatization in Germany and Italy". Public Management Review, 10(5): 597–617. 
  6. ^ a b Ferry, Laurence, Rhys Andrews, Chris Skelcher, and Piotr Wegorowski (2018). "New development: Corporatization of local authorities in England in the wake of austerity 2010–2016". Public Money & Management. 
  7. ^ a b Voorn, Bart, Sandra Van Thiel, and Marieke van Genugten (2018). "Debate: Corporatization as more than a recent crisis-driven development". Public Money & Management. 
  8. ^ Kowalski, P., Büge, M., Sztajerowska, M. and Egeland, M. (2013). "State-Owned Enterprises: Trade Effects and Policy Implications" (PDF). OECD Trade Policy Papers, No. 147. 
  9. ^ Baldwin, R. E. (1969). "The case against infant-industry tariff protection" (PDF). Journal of political economy, 77(3), 295-305. 
  10. ^ a b António F. Tavares (2017). "Ten years after: revisiting the determinants of the adoption of municipal corporations for local service delivery". Local Government Studies, 43(5): 697–706. 
  11. ^ Citroni, Giulio, Andrea Lippi, and Stefania Profeti (2013). "Remapping the state: inter-municipal cooperation through corporatization and public-private governance structures". Local Government Studies. 
  12. ^ Shleifer, Andrei, and Robert W. Vishny (1994). "Politicians and firms". Quarterly Journal of Economics, 109(4): 995–1025. 
  13. ^ a b Shleifer, Andrei, and Robert W. Vishny (1997). "A survey of corporate governance". Journal of Finance, 52(2): 737–783. 
  14. ^ "All Men Are Created Unequal". The Economist. 4 January 2014. Diakses tanggal 27 September 2015. Quote: «The wars and depressions between 1914 and 1950 dragged the wealthy back to earth. Wars brought physical destruction of capital, nationalisation, taxation and inflation»