iBet uBet web content aggregator. Adding the entire web to your favor.
iBet uBet web content aggregator. Adding the entire web to your favor.



Link to original content: http://id.wikipedia.org/wiki/95_Tesis
95 dalil Luther - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Lompat ke isi

95 dalil Luther

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari 95 Tesis)
Simbol artikel pilihan
Artikel ini telah dinilai sebagai artikel pilihan pada 8 April 2017 (Pembicaraan artikel)
95 Tesis
Satu cetakan halaman 95 Tesis dalam dua kolom
Cetakan 95 Tesis tahun 1517 dari Nuremberg sebagai sebuah plakat, sekarang tersimpan dalam Perpustakaan Negeri Berlin.
PengarangMartin Luther
Judul asliDisputatio pro declaratione virtutis indulgentiarum[a]
NegaraJerman
BahasaLatin
Tanggal terbit
10 November 1517
(31 Oktober 1517 O.S.)
Teks95 Tesis di Wikisource

95 dalil Luther, 95 Tesis, atau Perdebatan tentang Kuasa Indulgensi[a], adalah sebuah daftar proposisi untuk perdebatan akademik yang ditulis pada 1517 oleh Martin Luther, profesor teologi moral di Universitas Wittenberg, Jerman. 95 Tesis mengangkat tuntutan-tuntutan Luther terhadap apa yang ia anggap sebagai praktik penyalahgunaan oleh kaum rohaniwan yang menjual indulgensi penuh, dalam bentuk sertifikat yang dipercaya mengurangi hukuman atau siksa dosa temporal atas dosa-dosa yang dilakukan oleh para pembelinya ataupun orang-orang yang mereka kasihi yang berada dalam api penyucian. Dalam 95 Tesis, Luther menyatakan bahwa pertobatan yang disyaratkan oleh Yesus agar dosa-dosa dapat diampuni melibatkan pertobatan rohani dari dalam batin dan bukan sekadar pengakuan sakramental dari luar. Ia berpendapat bahwa indulgensi membuat umat Kristen menjauh dari pertobatan sejati dan kesedihan karena dosa, meyakini bahwa mereka dapat mengabaikannya dengan membeli indulgensi. Menurut Luther, indulgensi juga membuat umat Kristen kehilangan semangat untuk memberi kepada kaum miskin dan melakukan tindakan belas kasih lainnya, karena meyakini bahwa sertifikat indulgensi lebih bernilai secara rohani. Meskipun Luther mengklaim bahwa posisinya atas indulgensi selaras dengan posisi Sri Paus, 95 Tesis menantang satu bulla kepausan abad keempat belas yang menyatakan bahwa paus dapat memanfaatkan harta kekayaan Gereja dan perbuatan-perbuatan baik dari orang-orang kudus pada masa lampau untuk membebaskan seseorang dari hukuman sementara akibat dosa-dosanya. 95 Tesis disusun dalam bentuk proposisi-proposisi untuk diperdebatkan, tidak hanya sekadar merepresentasikan pendapat-pendapat Luther, tetapi Luther kemudian mengklarifikasikan pandangannya dalam Penjelasan dari Perdebatan Terkait Nilai Indulgensi.

Luther mengirim 95 Tesis beserta sebuah surat kepada Albertus dari Brandenburg, Uskup Agung Mainz, pada 31 Oktober 1517, tanggal yang sekarang dianggap sebagai awal mula Reformasi Protestan dan dirayakan setiap tahun sebagai Hari Reformasi. Luther mungkin juga memasang 95 Tesis di pintu Gereja Semua Orang Kudus, dan gereja-gereja lainnya di Wittenberg sesuai dengan kebiasaan Universitas pada 31 Oktober atau pertengahan November. 95 Tesis dengan cepat dicetak ulang, diterjemahkan, dan disebarkan di seluruh Jerman dan Eropa. Hal ini menyebabkan dimulainya perang pamflet dengan pengkhotbah indulgensi Johann Tetzel, sehingga semakin menyebarkan ketenaran Luther. Para superior (atasan) gerejawi Luther membuatnya diadili dengan tuduhan bidah, yang berpuncak pada ekskomunikasinya pada 1521. Meskipun 95 Tesis merupakan awal dari Reformasi Protestan, Luther tidak menganggap indulgensi sepenting hal-hal teologis lainnya yang kelak memisahkan Gereja, seperti pembenaran oleh iman semata (sola fide) dan keterbelengguan kehendak. Terobosannya pada isu-isu tersebut baru timbul di kemudian hari, dan ia tidak memandang penulisan 95 Tesis sebagai titik awal keyakinan-keyakinannya berlawanan dari posisi Gereja Katolik Roma.

Latar belakang

Martin Luther, seorang profesor teologi moral di Universitas Wittenberg dan pengkhotbah kota,[2] menulis 95 Tesis yang menentang praktik kontemporer gereja terkait indulgensi. Dalam Gereja Katolik, satu-satunya gereja Kristen di Eropa Barat pada masa itu, indulgensi merupakan bagian dari karya keselamatan. Dalam sistem tersebut, ketika umat Kristen berdosa dan mengakukannya, dosa-dosanya diampuni dan tidak akan lagi menerima hukuman abadi dalam neraka, tetapi mungkin masih menanggung beban hukuman yang sifatnya temporal.[3] Peniten dapat membebaskan diri dari hukuman tersebut dengan cara melakukan karya belas kasih.[4] Jika hukuman temporal tidak terpenuhi sepenuhnya semasa hidupnya di dunia ini, maka perlu dipenuhi dalam api penyucian. Dengan indulgensi (yang dapat diterjemahkan sebagai "kemurahan hati"), hukuman yang bersifat temporal tersebut dapat dikurangi atau bahkan dihapuskan.[3] Dalam penyalahgunaan sistem indulgensi, kaum rohaniwan memanfaatkannya dengan menjual indulgensi dan paus memberikan pernyataan resmi dengan imbalan biaya tertentu.[5]

Cukil kayu dari seorang penjual indulgensi di sebuah gereja dari sebuah pamflet 1521.

Para paus memiliki kuasa untuk menganugerahkan indulgensi penuh, yang memberikan pembebasan sepenuhnya atas segala hukuman temporal yang masih tersisa akibat dosa, dan indulgensi juga dapat dibeli bagi orang-orang yang diyakini berada dalam api penyucian. Hal ini menyebabkan timbulnya ungkapan populer: "Begitu sekeping koin dalam peti uang berdenting, jiwa dari api penyucian melompat". Para teolog di Universitas Paris pernah mengecam ungkapan tersebut pada akhir abad kelima belas.[6] Para kritikus indulgensi sebelumnya misalnya John Wycliffe, yang menyangkal bahwa paus memiliki yurisdiksi atas api penyucian. Jan Hus dan para pengikutnya pernah mengadvokasikan suatu sistem penitensi atau silih yang lebih berat, yang di dalamnya tidak tersedia indulgensi.[7] Johannes von Wesel juga pernah menyerang indulgensi pada akhir abad kelima belas.[8] Para penguasa politik berkepentingan dalam mengendalikan indulgensi karena ekonomi lokal bergejolak saat uang untuk indulgensi pergi dari wilayah mereka masing-masing. Para penguasa sering kali berusaha mendapatkan bagian dari hasilnya atau melarang indulgensi sama sekali, seperti yang dilakukan Adipati Georgius di Elektorat Sachsen tempat Luther tinggal.[9]

Pada 1515, Paus Leo X menganugerahkan suatu indulgensi penuh yang dimaksudkan untuk membiayai pembangunan Basilika Santo Petrus di Roma.[10] Indulgensi tersebut berlaku untuk hampir semua dosa, termasuk perzinaan dan pencurian. Semua khotbah indulgensi lainnya dihentikan selama delapan tahun saat indulgensi tersebut ditawarkan. Para pengkhotbah indulgensi diberikan pengarahan ketat tentang bagaimana indulgensi tersebut harus dikhotbahkan, dan mereka lebih banyak menerima pujian karena indulgensi tersebut dibandingkan dengan indulgensi-indulgensi yang ditawarkan sebelumnya.[11] Johann Tetzel ditugaskan untuk berkhotbah dan menawarkan indulgensi tersebut pada 1517, dan kampanyenya di kota-kota dekat Wittenberg menarik minat banyak penduduk Wittenberg untuk mengunjungi kota-kota itu dan membelinya, karena penjualannya telah dilarang di Wittenberg dan kota-kota Sachsen (Saxon) lainnya.[12]

Luther juga pernah menerima indulgensi-indulgensi yang dikaitkan dengan Gereja Semua Orang Kudus di Wittenberg.[13] Dengan menghormati sejumlah besar relikui di gereja itu, seseorang dapat menerima suatu indulgensi.[14] Pada awal 1514, ia berkhotbah menentang penyalahgunaan indulgensi dan cara mereka merendahkan anugerah atau kasih karunia alih-alih mengharuskan pertobatan sejati.[15] Pada 1517, Luther menjadi sangat prihatin saat jemaat parokinya, sekembalinya mereka dari membeli indulgensi Tetzel, mengklaim bahwa mereka tidak lagi perlu bertobat dan mengubah hidup mereka agar dapat diampuni dosanya. Setelah mendengar apa yang dikatakan Tetzel mengenai indulgensi dalam khotbah-khotbahnya, Luther mulai mempelajari isu tersebut dengan lebih seksama, dan menghubungi para ahli terkait subjek tersebut. Ia berkhotbah tentang indulgensi beberapa kali pada 1517, menjelaskan bahwa pertobatan yang sebenarnya lebih baik ketimbang membeli suatu indulgensi.[16] Ia mengajarkan kalau menerima suatu indulgensi mensyaratkan bahwa peniten telah mengakukan dosa-dosanya dan bertobat, karena jika tidak demikian maka indulgensi tidak berguna. Menurutnya, pendosa yang benar-benar bertobat juga tidak akan mencari suatu indulgensi, karena mereka mencintai kebenaran dari Allah dan menginginkan hukuman batin atas dosa-dosa mereka.[17] Khotbah-khotbahnya tampaknya dihentikan sejak April sampai Oktober 1517, diperkirakan saat itu Luther sedang menulis 95 Tesis.[18] Ia menyusun sebuah Risalah tentang Indulgensi, sepertinya pada awal musim gugur 1517. Dikatakan bahwa tulisannya itu merupakan suatu penelitian menyeluruh dan cermat terkait subjek tersebut.[19] Ia menghubungi para pemimpin gereja untuk membahas subjek tersebut melalui surat, termasuk superiornya Hieronymus Schulz [de], Uskup Brandenburg, sekitar atau sebelum 31 Oktober, saat ia mengirim tesis-tesisnya kepada Uskup Agung Albertus dari Brandenburg.[20]

Isi

Tesisnya yang pertama menjadi terkenal. Tesis tersebut menyatakan, "Ketika Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus mengatakan, 'Bertobatlah,' Ia menghendaki keseluruhan hidup orang beriman sebagai satu bagian dari pertobatan." Dalam beberapa tesis pertamanya Luther mengembangkan gagasan bahwa pertobatan adalah lebih merupakan perjuangan Kristen di dalam batinnya melawan dosa daripada sistem pengakuan sakramental dari luar.[21] Tesis 5–7 kemudian menyatakan bahwa paus hanya dapat melepaskan orang-orang dari hukuman yang telah ia berikan sendiri atau melalui sistem penitensi gereja, bukan kebersalahan dosa. Paus hanya dapat menyatakan pengampunan Allah atas kebersalahan dosa di dalam nama-Nya.[22] Pada tesis 14–29, Luther menantang keyakinan umum mengenai api penyucian. Tesis 14–16 membahas gagasan bahwa hukuman dalam api penyucian dapat disamakan dengan rasa takut dan keputusasaan yang dirasakan oleh orang-orang yang sekarat.[23] Pada tesis 17–24, ia menyatakan bahwa tidak ada yang dapat secara definitif mengatakan tentang keadaan rohani orang-orang yang berada dalam api penyucian. Pada tesis 25 dan 26, ia menyangkal bahwa paus memiliki kuasa apapun atas orang-orang dalam api penyucian. Pada tesis 27–29, ia menyerang gagasan bahwa orang yang dikasihi si pembayar dibebaskan dari api penyucian seketika setelah pembayaran dilakukan. Ia melihat hal itu sebagai pemicu ketamakan yang penuh dosa, dan mengatakan bahwa hal itu mustahil untuk dipastikan karena hanya Allah yang memiliki kekuasaan tertinggi untuk melepaskan hukuman-hukuman dalam api penyucian.[24]

Cukil kayu tahun 1525 yang menggambarkan pengampunan dari Kristus yang lebih bernilai daripada indulgensi paus.

Tesis 30–34 menyinggung kepastian palsu yang Luther yakini ditawarkan oleh para pengkhotbah indulgensi kepada umat Kristen. Karena tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah seseorang benar-benar bertobat, selembar surat yang menjamin seseorang akan pengampunannya dinilai berbahaya. Pada tesis 35 dan 36, ia menyerang gagasan yang menyampaikan bahwa suatu indulgensi membuat pertobatan tidak diperlukan. Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa orang-orang yang benar-benar bertobat, yakni satu-satunya kelompok orang yang dapat menerima manfaat dari indulgensi, telah menerima satu-satunya manfaat yang disediakan oleh indulgensi. Bagi Luther, umat Kristen yang sungguh-sungguh bertobat telah dilepaskan dari hukuman maupun kebersalahan dosanya.[24] Dalam tesis 37, ia menyatakan bahwa umat Kristen tidak memerlukan indulgensi untuk dapat menerima seluruh manfaat yang disediakan oleh Yesus. Tesis 39 dan 40 menyatakan bahwa indulgensi menyebabkan pertobatan sejati lebih sulit dilakukan. Pertobatan sejati menginginkan hukuman Allah atas dosa, tetapi indulgensi mengajarkan seseorang untuk menghindari hukuman, karena hal itu merupakan tujuan dari membeli indulgensi tersebut.[25]

Pada tesis 41–47, Luther mengkritik indulgensi dengan pertimbangan bahwa indulgensi merendahkan karya-karya belas kasihan yang dilakukan oleh mereka yang membelinya. Di sini ia mulai menggunakan frasa "Umat Kristen harus diajarkan ..." untuk menyatakan bagaimana ia merasakan bahwa orang-orang seharusnya diberikan petunjuk mengenai nilai indulgensi. Mereka seharusnya diajarkan bahwa memberi kepada kaum miskin lebih penting daripada membeli indulgensi, bahwa membeli suatu indulgensi tanpa memberi kepada kaum miskin mendatangkan murka Allah, dan bahwa melakukan perbuatan baik menjadikan seseorang lebih baik sementara membeli indulgensi tidak demikian. Pada tesis 48–52, Luther menempatkan dirinya di sisi paus, mengatakan bahwa jika paus mengetahui apa yang sedang dikhotbahkan atas namanya maka ia akan lebih suka Basilika Santo Petrus terbakar daripada "terbangun dengan kulit, daging, dan tulang-tulang dombanya".[25] Tesis 53–55 mengeluhkan pembatasan-pembatasan dalam berkhotbah ketika indulgensi sedang ditawarkan.[26]

Luther mengkritik doktrin harta kekayaan Gereja yang menjadi dasar bagi doktrin indulgensi pada tesis 56–66. Ia menyatakan bahwa umat Kristen biasa tidak mengerti doktrin itu dan salah memahaminya. Bagi Luther, harta karun gereja yang sebenarnya adalah Injil Yesus Kristus. Harta tersebut cenderung untuk dibenci karena "orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir",[27] berdasarkan yang tertulis dalam Matius 19:30 dan 20:16.[28] Luther menggunakan kiasan dan permainan kata untuk mendeskripsikan harta karun Injil sebagai jala untuk menjaring orang kaya, sementara harta karun indulgensi adalah jala untuk menjaring kekayaan orang.[27]

Laman pamflet tunggal dengan huruf besar dekoratif awal.
Halaman pertama cetakan tesis-tesis Luther dari Basel pada 1517 dalam bentuk sebuah pamflet.

Pada tesis 67–80, Luther membahas lebih lanjut masalah-masalah terkait cara indulgensi dikhotbahkan, sebagaimana yang pernah ia singgung dalam surat kepada Uskup Agung Albertus. Para pengkhotbah mempromosikan indulgensi sebagai rahmat terbesar yang disediakan Gereja, tetapi mereka sebenarnya hanya mempromosikan keserakahan. Ia mengemukakan bahwa para uskup telah diinstruksikan untuk memberikan penghormatan kepada para pengkhotbah indulgensi yang memasuki yurisdiksi mereka, tetapi para uskup juga bertugas melindungi jemaat mereka dari para pengkhotbah yang mengkhotbahkan hal-hal yang bertentangan dengan maksud paus.[27] Ia kemudian menyerang keyakinan yang diduga disebarkan oleh para pengkhotbah bahwa indulgensi dapat mengampuni seseorang yang telah menghina Bunda Maria. Luther menyatakan bahwa indulgensi tidak dapat menghapuskan kebersalahan dosa, sekalipun yang paling ringan di antara dosa-dosa ringan. Ia mengecam beberapa pernyataan lain yang diduga disampaikan oleh para pengkhotbah indulgensi sebagai penghujatan: bahwa Santo Petrus tidak mungkin menganugerahkan suatu indulgensi yang lebih bernilai daripada paus yang sekarang, dan bahwa salib indulgensi dengan lambang kepausan adalah sama berharganya seperti salib Kristus.[29]

Luther mencantumkan beberapa kritik yang dikemukakan oleh kaum awam terhadap indulgensi pada tesis 81–91. Ia menyajikannya sebagai keberatan-keberatan sukar yang diajukan jemaatnya, bukan kritiknya semata. Bagaimana ia harus menjawab mereka yang bertanya mengapa paus tidak mengosongkan saja api penyucian jika itu berada dalam kuasanya? Apa yang harus ia katakan kepada mereka yang bertanya mengapa misa-misa peringatan bagi orang yang telah meninggal, yang ditujukan bagi orang-orang dalam api penyucian, tetap dilakukan bagi mereka yang telah ditebus melalui suatu indulgensi? Luther mengklaim kalau tampak aneh bagi beberapa orang bahwa orang-orang saleh yang berada dalam api penyucian dapat ditebus oleh orang yang tidak saleh yang masih hidup di dunia ini. Luther juga menyebut pertanyaan mengapa paus, yang dianggap sangat kaya, membutuhkan uang dari umat miskin untuk membangun Basilika Santo Petrus. Luther mengklaim bahwa menghiraukan pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat membuat orang-orang menertawakan paus.[29] Ia merujuk pada kepentingan finansial paus, mengatakan bahwa jika para pengkhotbah membatasi khotbah mereka berdasarkan posisi-posisi Luther terkait indulgensi (yang ia klaim juga merupakan posisi paus), keberatan-keberatan tersebut tidak akan relevan lagi.[30] Luther mengakhiri tesis-tesis ini dengan menasihati umat Kristen untuk meneladani Kristus sekalipun hal itu mendatangkan rasa sakit dan penderitaan. Menanggung hukuman dan memasuki surga lebih baik daripada rasa aman yang palsu.[31]

Tujuan Luther

Gambar Luther sedang memasangkan 95 Tesis di pintu Gereja Wittenburg pada 1517, karya Ferdinand Pauwels.

95 Tesis ditulis sebagai proposisi-proposisi untuk diperdebatkan dalam suatu perdebatan akademik resmi,[32] meskipun tidak ada bukti bahwa peristiwa tersebut pernah terjadi.[33] Dalam bagian judul 95 Tesis, Luther mengundang para akademisi yang berminat dari kota-kota lainnya untuk berpartisipasi. Mengadakan debat semacam itu merupakan suatu hak istimewa yang dimiliki Luther sebagai seorang doktor, dan bukan merupakan suatu bentuk yang tidak lazim dalam penyelidikan akademik.[32] Luther menyiapkan dua puluh set dari 95 Tesis untuk diperdebatkan di Wittenberg antara 1516 dan 1521.[34] Andreas Karlstadt pernah menuliskan satu set tesis semacam itu pada April 1517, dan tesisnya lebih radikal dalam hal teologis daripada tesis Luther. Ia memasangkannya di pintu Gereja Semua Orang Kudus, tempat Luther diduga melakukannya juga dengan 95 Tesis. Karlstadt memasangkan tesisnya pada saat relikui-relikui gereja sedang diperlihatkan, dan hal ini mungkin dianggap sebagai suatu tindakan provokatif. Demikian pula Luther memasangkan 95 Tesis pada malam menjelang Hari Raya Semua Orang Kudus, hari paling penting pada tahun tersebut untuk menampilkan relikui-relikui di Gereja Semua Orang Kudus.[35]

Tesis-tesis Luther dimaksudkan untuk memulai suatu perdebatan di kalangan akademisi, bukan untuk suatu revolusi umum,[34] namun terdapat indikasi bahwa ia memandang tindakannya sebagai nubuat dan berarti penting. Sekitar waktu tersebut, ia mulai menggunakan nama "Luther" serta terkadang "Eleutherius", kata Yunani untuk "bebas", dan bukan "Luder". Hal ini tampaknya mengacu pada terbebasnya ia dari teologi skolastik yang pernah ia tentang sebelumnya pada tahun itu.[36] Luther kemudian mengklaim tidak menginginkan 95 Tesis disebarluaskan. Elizabeth Eisenstein berpendapat bahwa klaim keterkejutan atas kesuksesannya mungkin mengandung unsur penipuan diri, dan Hans Hillerbrand mengklaim bahwa Luther tentu berniat untuk menimbulkan suatu kontroversi besar.[1] Beberapa kali Luther tampaknya menggunakan sifat akademik dari 95 Tesis sebagai suatu selubung yang memungkinkannya menyerang keyakinan-keyakinan yang ada sembari memungkinkannya menyangkal bahwa ia berniat untuk menyerang ajaran gereja. Karena menulis satu set tesis untuk suatu perdebatan belum tentu berarti bahwa penulisnya menganut pandangan-pandangan yang ditulisnya, Luther dapat menyangkal kalau ia memegang gagasan-gagasan yang dianggap paling provokatif itu di dalam 95 Tesis.[37]

Penyebaran dan penerbitan

Pada 31 Oktober 1517, Luther mengirim surat kepada Uskup Agung Mainz, Albertus dari Brandenburg; penjualan indulgensi saat itu berada di bawah wewenang Albertus. Dalam surat tersebut, Luther menyampaikan masalah-masalah pastoral yang timbul karena khotbah-khotbah indulgensi kepada sang uskup agung. Ia mengandaikan kalau Albertus tidak menyadari apa yang sedang dikhotbahkan di bawah wewenangnya, dan berbicara dari keprihatinannya bahwa orang-orang sedang dibawa menjauh dari Injil, dan bahwa khotbah indulgensi tersebut dapat mencemarkan nama baik Albertus. Luther tidak mengecam indulgensi atau doktrin terkaitnya, tidak juga khotbah-khotbah yang pernah dikhotbahkan, karena saat itu ia belum pernah menyaksikannya secara langsung. Sebaliknya ia menyatakan keprihatinannya terkait kesalahpahaman masyarakat tentang indulgensi yang disampaikan melalui khotbah tersebut, seperti keyakinan bahwa dosa apapun dapat diampuni melalui indulgensi atau bahwa kesalahan maupun segala hukuman akibat dosa dapat dilepaskan melalui indulgensi. Dalam suatu catatan tambahan, Luther menulis bahwa Albertus dapat menemukan beberapa tesis pada materi yang disertakan bersama dengan suratnya, agar ia dapat melihat adanya ketidakpastian seputar doktrin indulgensi jika dikontraskan dengan para pengkhotbah yang berbicara dengan sedemikian meyakinkan mengenai manfaat indulgensi.[38]

Lukisan abad kesembilan belas karya Julius Hübner ini membuat sensasional pemasangan 95 Tesis Luther di hadapan kerumunan orang. Pada kenyataannya, pemasangan tesis untuk suatu perdebatan merupakan sesuatu yang sering dilakukan.

Adalah hal lazim pada saat itu ketika mengajukan suatu perdebatan maka tesisnya juga dicetak oleh penerbit universitas dan dipasang di area publik.[39] Tidak ada satupun salinan cetakan 95 Tesis dari Wittenberg yang masih terlestarikan hingga saat ini, tetapi hal ini tidak mengejutkan mengingat pada saat itu Luther tidak terkenal dan arti penting dokumen tersebut tidak diakui.[40][b] Di Wittenberg, statuta-statuta universitas mensyaratkan agar tesis-tesis tersebut dipasangkan di setiap pintu gereja di kota tersebut, tetapi Philip Melanchthon, yang pertama kali menyebutkan pemasangan 95 Tesis, hanya menyebutkan pintu Gereja Semua Orang Kudus.[c][42] Melanchthon juga mengklaim bahwa Luther memasang 95 Tesis pada 31 Oktober, tetapi klaim itu bertentangan dengan beberapa pernyataan Luther mengenai rangkaian peristiwa tersebut,[32] dan Luther selalu mengklaim bahwa ia mengajukan keberatan-keberatannya melalui jalur-jalur yang semestinya tanpa memicu suatu kontroversi publik.[43] Terdapat kemungkinan bahwa sementara Luther belakangan menganggap surat kepada Albertus pada 31 Oktober sebagai permulaan Reformasi Protestan, ia belum memasang 95 Tesis di pintu gereja tersebut sampai pertengahan November, tetapi mungkin juga ia sama sekali tidak memasangnya di pintu tersebut.[32] Terlepas dari hal itu, 95 Tesis menjadi dikenal di kalangan elite intelektual Wittenberg tidak lama setelah Luther mengirimkannya kepada Albertus.[40]

95 Tesis disalin dan dibagikan kepada pihak-pihak yang berminat tidak lama setelah Luther mengirimkan surat kepada Uskup Agung Albertus.[44] 95 Tesis yang berbahasa Latin itu dicetak dalam rupa pamflet empat halaman di Basel, dan dalam rupa plakat-plakat di Leipzig dan Nuremberg.[44][1] Secara keseluruhan, beberapa ratus salinan 95 Tesis berbahasa Latin dicetak di Jerman pada 1517. Kaspar Nützel [de] di Nuremberg kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Jerman pada tahun yang sama, dan salinan-salinan terjemahan itu dikirim ke beberapa pihak yang berminat di seluruh Jerman,[44] namun terjemahan itu sendiri belum tentu dicetak.[45][d]

Reaksi

Albertus tampaknya telah menerima surat Luther yang dilampiri 95 Tesis sekitar akhir November. Ia meminta pendapat para teolog di Universitas Mainz dan berdiskusi dengan para penasihatnya. Para penasihatnya merekomendasikan agar ia melarang Luther berkhotbah menentang indulgensi sesuai dengan bulla indulgensi. Albertus mengajukan permohonan agar tindakan tersebut dilakukan Kuria Roma.[47] Di Roma, Luther segera dipandang sebagai suatu ancaman.[48] Pada Februari 1518, Paus Leo meminta pimpinan Eremit Agustinian, ordo keagamaan Luther, untuk meyakinkannya agar berhenti menyebarkan gagasan-gagasannya tentang indulgensi.[47] Sylvester Mazzolini juga ditunjuk untuk menuliskan suatu opini yang akan digunakan dalam pengadilan melawannya.[49] Mazzolini menulis Sebuah Dialog melawan Tesis-Tesis Lancang Martin Luther mengenai Kuasa Sri Paus, yang lebih berfokus pada pertanyaan Luther seputar wewenang paus daripada keluhan-keluhannya mengenai khotbah indulgensi.[50] Luther menerima surat panggilan ke Roma pada Agustus 1518.[49] Ia menanggapinya dengan Penjelasan dari Perdebatan Mengenai Nilai Indulgensi, yang di dalamnya ia berupaya untuk membersihkan dirinya dari tuduhan bahwa ia menyerang Sri Paus.[50] Ketika ia menuliskan pandangan-pandangannya secara lebih ekstensif, Luther tampaknya mengakui bahwa implikasi dari keyakinan-keyakinannya menjauhkan dia dari ajaran resmi dibandingkan dengan yang awalnya ia ketahui. Ia kemudian berkata bahwa ia mungkin tidak memulai kontroversi tersebut seandainya ia tahu akan berakibat demikian.[51] Penjelasan tersebut sampai sekarang disebut sebagai karya Reformasi Luther yang pertama.[52]

Pintu peringatan yang dipasang di Gereja Semua Orang Kudus, Wittenberg, saat hari ulang tahun Luther yang ke-375 pada 1858.[53]

Johann Tetzel menanggapi 95 Tesis dengan menyerukan agar Luther dibakar karena bidat, dan teolog Konrad Wimpina menuliskan 106 tesis untuk melawan karya Luther. Tetzel mempertahankan tesis tersebut dalam suatu perdebatan di Universitas Frankfurt di Oder pada Januari 1518.[54] 800 salinan perdebatan yang dicetak dikirim untuk dijual di Wittenberg, tetapi para mahasiswa universitas tersebut menyitanya dari penjual buku dan membakarnya. Luther menjadi semakin khawatir kalau-kalau situasi menjadi tidak terkendali dan ia akan berada dalam bahaya. Untuk menenangkan para penentangnya, ia menerbitkan sebuah Khotbah tentang Indulgensi dan Rahmat, tanpa menantang wewenang paus.[55] Pamflet yang ditulis dalam bahasa Jerman tersebut sangat pendek dan mudah dipahami oleh kaum awam.[45] Karya sukses pertama Luther tersebut dicetak ulang sebanyak dua puluh kali.[56] Tetzel menanggapinya dengan suatu sanggahan poin per poin, banyak mengutip pernyataan dari Alkitab dan para teolog penting.[57][e] Pamfletnya tidak sepopuler buatan Luther. Di sisi lain, jawaban Luther atas pamflet Tetzel merupakan kesuksesan publikasi lainnya bagi Luther.[59][f]

Tokoh ternama lainnya yang menentang 95 Tesis adalah Johann Eck, teman Luther dan seorang teolog di Universitas Ingolstadt. Eck menuliskan sebuah sanggahan, diperuntukkan bagi Uskup Eichstätt, dengan judul Obelisk. Judul itu mengacu pada tanda obelus yang digunakan untuk menandai bagian-bagian yang dipandang sesat dalam teks-teks pada Abad Pertengahan. Karya tersebut merupakan suatu serangan pribadi yang tajam dan tak terduga, menuduh Luther sesat dan bodoh. Luther menanggapinya secara pribadi dengan Asterisk, judul yang mengacu pada tanda bintang yang saat itu digunakan untuk menandai teks-teks penting. Tanggapan Luther berisi kemarahan dan ia mengungkapkan pendapatnya bahwa Eck tidak memahami materi yang ia tuliskan.[61] Perseteruan antara Luther dan Eck kelak diketahui publik dalam Debat Leipzig tahun 1519.[57]

Luther dipanggil oleh wewenang kepausan untuk mempertahankan dirinya terhadap tuduhan bidat di hadapan Thomas Cajetan (Gaetanus/Kayetanus) di Augsburg pada Oktober 1518. Cajetan tidak memperbolehkan Luther untuk berdebat dengannya dalam hal bidat yang dituduhkan kepadanya, kendati ia sendiri tidak bermaksud menuduhkan bidat kepada Luther,[62] dan ia mengidentifikasikan dua poin kontroversi. Poin pertama menentang tesis ke-58, yang menyatakan bahwa indulgensi tidak termasuk dalam jasa-jasa Kristus dan tidak dapat digunakan oleh paus untuk melepaskan hukuman sementara atau temporal akibat dosa.[62][63] Hal ini bertentangan dengan bulla kepausan Unigenitus yang dikeluarkan oleh Paus Klemens VI pada 1343.[64] Poin kedua adalah apakah seseorang dapat yakin bahwa ia telah diampuni ketika menerima absolusi dari imam atas dosa-dosanya. Penjelasan Luther tentang tesis ke-7 menyatakan bahwa seseorang dapat berpegang pada kepastian iman bahwa dosa-dosanya benar-benar diampuni dalam pengakuan sakramental,[62] sedangkan Cajetan berpendapat bahwa penganut Kristen yang rendah hati seharusnya tidak pernah merasa yakin akan kedudukannya di hadapan Allah.[63] Luther menolak untuk menarik kembali pernyataan-pernyataannya itu dan meminta agar kasus tersebut ditinjau oleh para teolog universitas. Permintaannya ditolak, sehingga Luther mengajukan banding ke paus sebelum pergi meninggalkan Augsburg.[65] Luther akhirnya diekskomunikasi pada 1521 setelah ia membakar bulla kepausan Exsurge Domine yang mengancam dia untuk menarik kembali pernyataan-pernyataannya atau menghadapi sanksi ekskomunikasi.[66]

Tinggalan sejarah

Cetakan yang dibuat untuk Yubileum Reformasi 1617 menampilkan Luther sedang menuliskan 95 Tesis di pintu gereja Wittenberg dengan sebuah pena bulu besar.

Kontroversi indulgensi yang diawali oleh 95 Tesis menjadi permulaan Reformasi Protestan, suatu perpecahan dalam Gereja Katolik Roma yang menimbulkan banyak perubahan sosial dan politik yang berkelanjutan di Eropa.[67] Luther kemudian menyatakan bahwa isu indulgensi relatif tidak signifikan dibandingkan dengan kontroversi-kontroversi yang ia masuki kelak, seperti perdebatannya dengan Erasmus tentang keterbelengguan kehendak.[68] Ia juga menganggap bahwa kontroversi tersebut tidak sepenting terobosan intelektualnya mengenai Injil. Luther kemudian menuliskan bahwa pada masa seputar 95 Tesis ia tetap seorang "papis", dan ia tampaknya tidak berpikir bahwa 95 Tesis merepresentasikan suatu perpecahan dengan doktrin Katolik yang ada.[43] Namun, adalah kontroversi indulgensi yang menjadi sumber gerakan yang kelak disebut Reformasi Protestan, dan kontroversi itu mendorong Luther ke posisi kepemimpinan yang kelak ia pegang dalam gerakan tersebut.[68] 95 Tesis juga membuat jelas kalau Luther meyakini bahwa gereja tidak menyampaikan khotbah dengan benar dan bahwa hal ini menempatkan kaum awam dalam keadaan bahaya yang serius. Selain itu, 95 Tesis bertentangan dengan dekret Paus Klemens VI yang menyatakan bahwa indulgensi adalah harta kekayaan Gereja. Pengabaian wewenang kepausan tersebut menjadi pertanda terjadinya konflik-konflik di kemudian hari.[69]

31 Oktober 1517, hari Luther mengirimkan 95 Tesis kepada Albertus, diperingati sebagai permulaan Reformasi Protestan sejak 1527, saat Luther dan teman-temannya mengangkat segelas bir untuk memperingati "terinjak-injaknya indulgensi".[70] Di dalam Historia de vita et actis Lutheri karyanya tahun 1548, Philip Melanchthon mencantumkan pemasangan 95 Tesis dalam historiografi Reformasi Protestan sebagai permulaan gerakan tersebut. Pada Yubileum Reformasi 1617, peringatan seratus tahun 31 Oktober dirayakan dengan suatu prosesi menuju Gereja Wittenberg, tempat Luther diyakini memasang 95 Tesis. Saat itu dibuat sebuah ukiran yang menampilkan Luther sedang menuliskan 95 Tesis di pintu gereja tersebut dengan sebuah pena bulu raksasa. Pena bulu itu menembus kepala seekor singa yang melambangkan Paus Leo X.[71] Pada 1668, 31 Oktober ditetapkan sebagai Hari Reformasi, suatu perayaan tahunan di Elektorat Sachsen, yang menyebar ke wilayah Lutheran lainnya.[72]

Lihat pula

Catatan dan referensi

Catatan

  1. ^ a b bahasa Latin: Disputatio pro declaratione virtutis indulgentiarum. Judul tersebut berasal dari cetakan pamflet Basel 1517. Cetakan pertama dari 95 Tesis menggunakan sebuah incipit ketimbang sebuah judul yang menjelaskan isinya. Edisi plakat Nuremberg 1517 dibuka dengan kalimat Amore et studio elucidande veritatis: hec subscripta disputabuntur Wittenberge. Presidente R.P Martino Lutther ... Quare petit: vt qui non possunt verbis presentes nobiscum disceptare: agant id literis absentes. Luther biasanya menyebutnya "meine Propositiones" (proposisi-proposisiku).[1]
  2. ^ Pencetaknya di Wittenberg adalah Johann Rhau-Grunenberg [de]. "Perdebatan Melawan Teologi Skolastik" karya Luther yang dicetak oleh Rhau-Grunenberg, yang terbit delapan minggu sebelum 95 Tesis, ditemukan pada 1983.[41] Bentuknya sangat mirip dengan cetakan 95 Tesis di Nuremberg. Ini adalah bukti adanya cetakan 95 Tesis oleh Rhau-Grunenberg, karena cetakan Nuremberg kemungkinan merupakan sebuah salinan dari cetakan Wittenberg.[40]
  3. ^ Georg Rörer, juru tulis Luther, mengklaim dalam sebuah catatan bahwa Luther memasangkan tesis-tesis tersebut di setiap pintu gereja.
  4. ^ Tidak ada satupun salinan dari terjemahan bahasa Jerman 1517 yang terlestarikan.[46]
  5. ^ Pamflet Tetzel berjudul Bantahan Terhadap Sebuah Khotbah Lancang dari Dua Puluh Pasal Keliru.[58]
  6. ^ Jawaban Luther atas Bantahan Tetzel berjudul Mengenai Kebebasan dalam Khotbah tentang Indulgensi Kepausan dan Rahmat. Luther bermaksud membebaskan Khotbah karyanya dari cercaan Tetzel.[60]

Referensi

  1. ^ a b c Cummings 2002, hlm. 32.
  2. ^ Junghans 2003, hlm. 23, 25.
  3. ^ a b Brecht 1985, hlm. 176.
  4. ^ Wengert 2015a, hlm. xvi.
  5. ^ Noll 2015, hlm. 31.
  6. ^ Brecht 1985, hlm. 182.
  7. ^ Brecht 1985, hlm. 177.
  8. ^ Waibel 2005, hlm. 47.
  9. ^ Brecht 1985, hlm. 178, 183.
  10. ^ Brecht 1985, hlm. 178.
  11. ^ Brecht 1985, hlm. 180.
  12. ^ Brecht 1985, hlm. 183.
  13. ^ Brecht 1985, hlm. 186.
  14. ^ Brecht 1985, hlm. 117–118.
  15. ^ Brecht 1985, hlm. 185.
  16. ^ Brecht 1985, hlm. 184.
  17. ^ Brecht 1985, hlm. 187.
  18. ^ Brecht 1985, hlm. 188.
  19. ^ Wicks 1967, hlm. 489.
  20. ^ Leppin & Wengert 2015, hlm. 387.
  21. ^ Brecht 1985, hlm. 192.
  22. ^ Waibel 2005, hlm. 43.
  23. ^ Wengert 2015b, hlm. 36.
  24. ^ a b Brecht 1985, hlm. 194.
  25. ^ a b Brecht 1985, hlm. 195.
  26. ^ Waibel 2005, hlm. 44.
  27. ^ a b c Brecht 1985, hlm. 196.
  28. ^ Wengert 2015a, hlm. 22.
  29. ^ a b Brecht 1985, hlm. 197.
  30. ^ Brecht 1985, hlm. 198.
  31. ^ Brecht 1985, hlm. 199.
  32. ^ a b c d Brecht 1985, hlm. 199–200.
  33. ^ Leppin & Wengert 2015, hlm. 388.
  34. ^ a b Hendrix 2015, hlm. 61.
  35. ^ McGrath 2011, hlm. 23–24.
  36. ^ Lohse 1999, hlm. 101.
  37. ^ Cummings 2002, hlm. 35.
  38. ^ Brecht 1985, hlm. 190–192.
  39. ^ Pettegree 2015, hlm. 128.
  40. ^ a b c Pettegree 2015, hlm. 129.
  41. ^ Pettegree 2015, hlm. 97.
  42. ^ Wengert 2015b, hlm. 23.
  43. ^ a b Marius 1999, hlm. 138.
  44. ^ a b c Hendrix 2015, hlm. 62.
  45. ^ a b Leppin & Wengert 2015, hlm. 389.
  46. ^ Oberman 2006, hlm. 191.
  47. ^ a b Brecht 1985, hlm. 205–206.
  48. ^ Pettegree 2015, hlm. 152.
  49. ^ a b Brecht 1985, hlm. 242.
  50. ^ a b Hendrix 2015, hlm. 66.
  51. ^ Marius 1999, hlm. 145.
  52. ^ Lohse 1986, hlm. 125.
  53. ^ Stephenson 2010, hlm. 17.
  54. ^ Brecht 1985, hlm. 206–207.
  55. ^ Hendrix 2015, hlm. 64.
  56. ^ Brecht 1985, hlm. 208–209.
  57. ^ a b Hendrix 2015, hlm. 65.
  58. ^ Pettegree 2015, hlm. 144.
  59. ^ Pettegree 2015, hlm. 145.
  60. ^ Brecht 1985, hlm. 209.
  61. ^ Brecht 1985, hlm. 212.
  62. ^ a b c Burgess 1989, hlm. 228.
  63. ^ a b Hequet 2015, hlm. 124.
  64. ^ Brecht 1985, hlm. 253.
  65. ^ Hequet 2015, hlm. 125.
  66. ^ Brecht 1985, hlm. 427.
  67. ^ Dixon 2002, hlm. 23.
  68. ^ a b McGrath 2011, hlm. 26.
  69. ^ Wengert 2015a, hlm. xliii–xliv.
  70. ^ Stephenson 2010, hlm. 39–40.
  71. ^ Cummings 2002, hlm. 15–16.
  72. ^ Stephenson 2010, hlm. 40.

Sumber

Pranala luar